Sabtu, 04 Januari 2014

IBU, BERKARYA UNTUK MASYARAKAT MELALUI RUMAH, KARIR, DAN BISNIS (1)

Bismillaah...
Assalaamu'alaykum.

Alhamdulillaah, tepat tanggal 28 Desember tahun lalu, saya bersama dua orang teman saya dari Universitas Padjajaran (UNPAD) dan Institut Manajemen Telkom (IM TELKOM; eh katanya udah ganti jadi universitas ya?) berkesempatan untuk mengikuti seminar parenting “Ibuku lulusan ITB” yang diselenggarakan oleh komunitas ITB motherhood (sebuah komunitas yang didirikan oleh ibu-ibu muda lulusan ITB agar mereka bisa tetap saling menjaga silaturahim serta berbagi ilmu terkait pendidikan anak dan keluarga; sebagaimana peran para wanita sendiri sebagai ibu dan pengelola rumah tangga).
Moderator (berdiri), Ibu Yanti (kursi paling kiri), Ibu Nurhayati (tengah), Ibu Feny (kursi paling kanan).

            Sebenarnya apa sih yang menarik dari seminar ini?
Bila kita dengar judul seminarnya untuk pertama kali, mungkin kita akan merasa, 1) “waaaw, kereeen, ibu lulusan itb, hmm iya, kalau gue jadi ibu nanti, mau ngapain ya gue?”. Ini mungkin kata mahasiswi-mahasiswi ITB. 2) “Waah, mantap, ajang cari ilmu lebih dan silaturahim sama teman-teman lama, nih..”. Ini kata yang udah jadi ibu lulusan ITB, hehe. 3) “ih, apaan sih, ITB narsis banget.. so what gitu kalau lulusan ITB?”. Hmm, ini, kata siapapun yang sependapat dengan kalimatnya hehe. Seakan-akan, ada sesuatu yang ‘wah’ kalau anak kita punya ibu lulusan ITB. Naah, padahal mah, menurut salah satu pembicaranya (yang juga masih lulusan ITB), “Hey, IT DOES NOT MATTER, mau lulusan ITB, lulusan SMP, lulusan mana pun juga, SAMA AJA. Gak ada bedanya, KECUALI, kita mau untuk terus belajar cara pengasuhan dan pendidikan anak yang baik. ITU SAJA. THAT’S ALL, wahai para ibu dan calon ibu.” (and I AGREE with this statement,(Y)). Tambahnya lagi, paling-paling kalau ibunya lulusan ITB, jatuhnya jadi perfeksionis, terus bilang ke anaknya, “ya ampuun, gitu aja kok gak bisa, siiihh?” (walaupun tidak semuanya seperti ini, tapi buat yang merasa ITB, DILATIH yuk dear, jangan sampai jadinya kayak gini kalau ke anak J).
Yang menarik (kalau buat saya) dari acara ini adalah, kata-kata motherhood”, “ibu”, “parenting”, serta tema sesi 1: “ibu alumni ITB berkarya untuk masyarakat, melalui rumah, karir, atau bisnis”. Dari situ muncul keingintahuan yang besar buat belajar banyak hal dari para pembicara, terkait masa depan saya (dan para wanita muda lainnya) dalam menjadi seorang istri dan ibu. Untuk yang di rumah, mau tahu seperti apa sih, sang Ibu ini mengurus anak-anak dan mengelola rumah tangganya. Untuk yang berkarir dan bisnis, ingin tahu juga, bagaimana anak-anak mereka ketika mereka tinggal (pasti ya) untuk berkarir dan berbisnis itu? Plus-plus, Alhamdulillaah, bisa dapat ilmu tambahan juga mengenai ilmu parenting dan gizi keluarga dari para pakarnya, di sesi 2 seminar kali ini.
Here are the amazing speakers: Ibu Yanti (Alumni Planologi, mantan Ketua Unit Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA), homeschooler), Ibu Nurhayati (Alumni Farmasi, CEO Wardah Cosmetic), Ibu Feny (Alumni Biologi, dosen dan peneliti di Biologi ITB, PhD dari Australia). Sesi dua: Ibu Rani Razak (Alumni Teknik Industri, Parenting Trainer), Ibu ........ (maaf lupa; Alumni Planologi, pemerhati gizi keluarga).
OKE, di tulisan kali ini, saya ingin berbagi dengan teman-teman sekalian tentang hal-hal yang berkaitan dengan empat hal bercetak miring dan tebal (italic dan bold) di dua paragraf sebelumnya . Dimulai dari isi seminar sesi 1 bersama sang pembicara pertama, Ibu Yanti! But, please note, tidak semua informasi yang masuk dari seminar ini langsung kita terima mentah-mentah. Teman-teman pastinya sudah bisa memilah-milah, mana yang baik, mana yang harus diambil, mana yang cukup diambil pelajarannya saja J. Bila datang ke sini atau membaca ini bersama teman, mangga juga didiskusikan.
Uhmm, and, Well, it’s not about the name of university they went to, AGREE? ;)
J Happy learning, guys!

è Berkarya untuk masyarakat  melalui RUMAH.
Ibu Yanti, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, di masa kuliahnya merupakan seorang mahasiswi aktifis di kampus. Bisa kita lihat dari prestasinya menjadi ketua unit Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA). And, well, SHE is a GIRL! You can she how ‘macho’ is she, hihi. Ibu lulusan tahun 1989 ini mengaku dulu sama sekali TIDAK TERPIKIRKAN persiapan untuk menjadi seorang istri dan Ibu dengan segala kewajibannya. Yang terpikirkan adalah rencana-rencana serta mimpi-mimpi berkarir hingga tingkat tertinggi.

Ketika menikah, beliau tetap bekerja meniti karir di kantor. Hingga ia dikaruniai anak-anak yang ‘luar biasa’, memiliki jam tidur yang sedikit serta pola pikir jauh di atas anak-anak seusianya. Akhirnya, tahun 1990, Ibu Yanti memutuskan untuk berhenti bekerja, dan fokus mengurus anak-anaknya di rumah. Ia yakin, karunia tiga orang anak yang ketiga-tiganya ‘luar biasa’ ini adalah ‘sinyal’ dari Allah, bahwa memang ia HARUS fokus di rumah, mengurus, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya secara langsung. Pun ketika anaknya meminta untuk bersekolah di rumah, alias homeschooling, ibu Yanti mengiyakannya. Justru kesempatan ini ia jadikan sebagai tempat untuk mengembangkan dirinya baik dari segi ilmu, ataupun skill. Belajar mengembangkan diri menjadi kamus berjalan bagi anak-anaknya yang ‘luar biasa’.

Tak dipungkiri, yang namanya iri pasti muncul. Iri ketika berkumpul dengan teman-teman sesama alumni ITB yang memiliki karir melesat di kantornya, bahkan iri dengan sang suami yang satu angkatan dengannya. Ibu Yanti sempat berpikir, kita sama-sama satu angkatan, tapi kok dia punya kesempatan berkarir setinggi itu, sedangkan saya tidak. Kenapa saya harus di rumah saja? Mengurus segala hal ‘kecil’ seperti beres-beres rumah, dkk. Apa bedanya dengan ibu-ibu yang lain...? Namun kemudian, beliau memutuskan untuk menikmati hari-harinya bersama sang buah hati. Dengan terus melatih kesabaran, keikhlasan serta rasa bersyukur, ia temani anak-anaknya tumbuh dan berkembang, hingga ketiga anaknya ‘berhasil’ di minatnya masing-masing. Anak pertamanya, yang memiliki minat besar dengan batu-batuan, kini sudah bisa menjadi seorang pembicara di beberapa acara mengenai batuan (semacam geologi dkk) dalam usianya yang masih tergolong muda. Anak keduanya, yang mempunyai minat besar di dunia matematika, sudah mampu memecahkan soal-soal integral dalam usia 8 tahun (ckckck jadi ingat kalkulus). Anak ketiganya, yang berminat di bidang musik, sudah mampu bermain piano (atau keyboard ya, saya lupa) dengan lihai serta aktif mengikuti kompetisi ataupun konser-konser musik. Berangkat dari semua itu, secara perlahan, rasa kecemburuan terhadap karir teman-teman dan suaminya terkikis. Ia kini BANGGA dengan profesinya sebagai Ibu rumah tangga sekaligus homeschooler.

Dalam seminar kali ini, beliau banyak berbagi tentang bagaimana ia menumbuh kembangkan anak-anak ‘luar biasa’-nya. Tak lupa pula, ia banyak berpesan untuk para peserta seminar yang terdiri dari berbagai lapisan wanita, hehe. Ada yang sudah menikah dan punya anak, ada yang sudah menikah saja, dan ada juga yang belum menikah (seperti saya dan dua teman saya).

Di awal penyampaian, beliau menyampaikan, ada satu hal yang harus kita sadari dalam proses tumbuh kembang anak, yaitu, bahwa ketika anak membutuhkan kita, itu merupakan berkah yang harus kita syukuri! Hei, anak kita membutuhkan kita loh J daripada dicuekin, gak di-waro, hayoo.
Berkaitan dengan hal tersebut, beliau mengingatkan, bahwa tujuh tahun pertama dalam hidup sang anak, THEY ONLY HAVE US. Mereka hanya punya kita, so, berikan semaksimal mungkin yang kita bisa. Jadilah yang ‘selalu ada’ buat mereka. Walaupun, saat ‘melayani’nya, mungkin anak-anak kita memiliki beragam karakter, hindari menjadikan hal tersebut sebagai stress-maker. Justru jadikanlah hal tersebut sebagai pembelajaran buat kita, yang spesial dikasih sama Allah yang Maha Penyayang.

Pada usia-usia dini, tanamkan nilai-nilai benar dan salah, karena nilai-nilai yang kita tanamkan pada anak dalam usia golden age akan membekas kuat di alam bawah sadarnya. Pendapat Ibu  Yanti ini benar, bila kemudian kita sandingkan dengan teori ilmu NLP (Neuro Linguistic Programming) yang pernah saya dapatkan, di mana pada usia golden age itulah, saat-saat dimana ‘pintu gerbang’ atau sekat antara pikiran bawah sadar dan pikiran sadar manusia masih terbuka lebar atau ibaratnya masih lentur, belum kaku/rigid, sehingga apa-apa yang kita masukkan ke pikiran anak, akan tertanam kuat di pikiran bawah sadarnya. Ingat loh, pikiran bawah sadar berpengaruh 80% pada setiap tindakan yang kita lakukan di kemudian hari. Lain halnya, bila nilai-nilai tersebut baru kita berikan di saat anak sudah menginjak usia remaja, di mana pintu gerbang tersebut sudah tertutup atau sudah rigid. Hasilnya, si anak akan cenderung lebih mudah untuk mengkritisi atau menolak nilai baru tersebut. Naah, maka dari itu, penanaman nilai-nilai Agama including Akidah dan hafalan Qur’an yang sangat penting, amat sangat oke, bila kita tanamkan sejak usia dini ini! J

Sejak periode emas ini juga, beri ia kesempatan bereksplorasi untuk mengembangkan potensinya. Fasilitasi kemauan mereka, baik dia yang terbuka maupun tertutup (extrovert ataupun introvert). Nah, untuk dia yang introvert, karena sulit mengetahui kemauannya, maka dengarkanlah suara-suara kecilnya. HINDARI MENYEPELEKAN setiap suara kecil tersebut.

Tentunya, jangan pernah lupa, bahwa selama berjuang menumbuh kembangkan anak ini, kita harus: SABAR! Hindari mengeluh. Karena apa? Ingatlah Allah Maha Tahu looh, and Allah always listens to our COMPLAINS! Emangnya mau, gara-gara  kita ngeluh tentang anak kita, Allah malah ngambil balik anak kita..? Ya soalnya kita udah ngeluh, udah capek gitu ceritanya ngurusin si anak. Mau gak??.. Gak ya, sepertinya J.

Nah, berkaitan dengan itu, dalam hal pembelajaran si anak, ketika kita ingin memberi tahu yang benar pada mereka, hindari TERLALU BANYAK menggunakan verbal (kata-kata). Pada dasarnya, memang kita dihimbau untuk menghindar dari terlalu banyak melarang, karena dampaknya anak kita bisa gak berani ngapa-ngapain di masa depan (ini bener banget loh). Biar dia mencoba, bilapun salah, biarkan dia merasakan sendiri akibat dari apa yang dia buat, maka ia bisa belajar dari sana (kecuali kalau sesuatu yang ingin dicobanya itu, bisa mengakibatkan kanker atau meninggal, misalkan, hehehe, ini mah ya dilarang aja atuh). Cara lain yang bisa digunakan untuk memberitahu yang benar kepada anak adalah dengan memberi contoh (tindakan). Bisa kita sebut juga dengan memberi teladan yang baik, like Rasulullaah SAW did J. Talk less, do more.

Selain usaha pribadi kita untuk mengembangkan diri anak kita, tentunya pengaruh lingkungan luar juga amat besar dong. Yup, pergaulan! Pergaulan menjadi salah satu hal yang seringkali kita takuti akan membawa dampak buruk bagi perkembangan anak kita. Maka dari itu, mengenai pengawasan dari pergaulan dunia luar yang amat bahaya ini, Ibu Yanti pun turut memberi saran. Menurut Ibu yang punya hobi mendaki ini, kita bisa ciptakan dua kontrol, yaitu kontrol dari dalam diri sendiri dan kontrol pergaulan sosial. Contoh dari kontrol dari dalam adalah kita sendiri yang buat acara untuk mengembangkan potensi si anak, namun tetap memungkinkan si anak untuk memperluas lingkup pergaulannya. Contoh, untuk menciptakan kontrol dari dalam diri sendiri bagi anak ketiganya, Ibu Yanti pernah mengadakan semacam konser musik untuk anak ketiga dan teman-teman yang berminat pula di bidang musik. Nah, dari sini, kita bisa merancang sendiri teman-teman seperti apa yang bisa ikut di acara ini, misal yang memang anak dan orangtuanya baik saja. Sedangkan, contoh dari kontrol pergaulan sosialnya, ya dengan mengikutsertakan anak dalam organisasi, seminar yang dapat mengembangkan potensinya, namun tetap juga kita pilih yang memiliki pengaruh pergaulan yang positif.

Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan potensi anak, adalah pemberian motivasi. Motivasilah ia agar ia menghindari negative thinking dalam mengembangkan potensinya (BEGITUPUN DENGAN KITA yang mengembangkannya). Perlu juga kita beri motivasi, bahwa apa yang dilakukan oleh sang anak ituu, bisa bermanfaat buat orang lain loh, plus menjadi bekal untuk kehidupannya yang kekal di akhirat nanti.

Wah, ternyata penting dan krusial banget ya mendidik anak itu? Yup, pastinya. Tentunya, dalam mendidik dan mengembangkan anak kita, kitanya juga harus terdidik dengan baik dong. Gimana caranya? Yang pertama, so pasti, PERBAIKI DIRI terlebih dahulu dan secara terus menerus. Ini penting sekali terkait peranan kita sebagai teladan bagi anak kita J. Terus dan teruslah meng-upgrade diri dalam mendidik anak. Jadikanlah diri kita sebagai guru, teladan, dan tempat anak mencurahkan isi hatinya (setelah Allah dan, di jalan Allah tentunya). Berhati-hatilah, bila anak merasa tidak didengar di rumah (terutama oleh kita sebagai “madrasah pertama” mereka), maka ia akan mencari penggantinya di luar. Dan bila lingkungan di dunia luar itu menerima dan mau mendengarnya, maka ia akan terbuka dengan mereka yang ada di lingkungan itu, bukan sama kita, Ibunya. Masih baik bila lingkungan di luar itu adalah lingkungan yang baik, agamis, dan sejenisnya. Tapi bagaimana bila lingkungan tersebut adalah lingkungan yang buruk? J Na’udzubillaah.

Ketika sesi tanya jawab berlangsung, ada pula peserta seminar yang bertanya, bagaimana cara ketiga ibu ini dalam mengatasi kejenuhan bila tiba-tiba ia datang tanpa diundang? Wah benar juga ya?..

Nah, ternyata, aktifitas yang dipilih ibu Yanti untuk mengatasinya adalah belajar materi ajar yang beragam! Apalagi ibu Yanti adalah seorang homeschooler! Jadi, apa yang anak kita lakukan, bisa kita lakukan juga J. Kan lebih enak nanti dalam berkomunikasi dengan anak.

Alhamdulillaah, banyak sekali ya ilmu yang bisa kita dapatkan dari Ibu Yanti ini J. Yuk, silahkan diproses di dalam otak, dikaji bareng-bareng, lalu ambil dan aplikasikan nilai-nilai baiknya.
Nah, terakhir nih, pesan Ibu Yanti buat kita semua adalah, 1) Persiapkan pemahaman, pengetahuan dan skill untuk menjadi Ibu Rumah Tangga sejak kuliah! ;) à terutama buat yang belum nikah. Pesan ke..2), yang gak kalah pentingnya adalah, bahwa dalam membersamai anak nantinya, yang terpenting adalah Fokus, Ikhlas, dan banyak bersyukur J. Mungkin, kita bisa ganti-ganti urutannya, seperti menjadi >> Ikhlas, banyak bersyukur, dan fokus ;). Daan, yang ke..3) Dalam mencari suami, cari yang memiliki pandangan terbuka dalam artian, ia mau memahami kita. Saat perkenalan, jabarkan rencana atau mimpi-mimpi kita. Sehingga ke depannya, mudah-mudahan lebih mudah bagi kita bila punya kemauan-kemauan tertentu. Buat yang sudah menikah, selalu ingat ya, bahwa ridho suami adalah jalan kita. Kalau memang punya kemauan-yang di awal belum tersampaikan-, komunikasikan dengan beliau J.
Berikut ini adalah foto-foto slide beliau, semoga bermanfaat buat pembelajaran ya..:












***
Sip, segitu dulu nih, sharing dari seminar parenting sesi 1, dari Ibu Yanti, yang berkarya untuk masyarakat dari RUMAH. Untuk sharing dari dua pembicara lainnya (Ibu Nurhayati, CEO Wardah, dan Ibu Feny, dosen dan peneliti), in syaa Allah segera hadir di postingan berikutnya.

Ibu Yanti bisa, kita? In syaa Allah lebih bisa dong ya ;). Dan harus lebih baik! Bukan berarti dengan di rumah saja, kita tak menciptakan apa-apa untuk kemaslahatan dunia. Ingatlah, sejatinya kita diciptakan dunia ini, bukan sebagai sampah, bukan hanya sebagai onggokan daging dan tulang belaka. Ada misi yang kita emban sebagai makhluk terbaik yang Ia ciptakan, yaitu: memakmurkan bumi. Dengan cara apa? Ya kamu sendiri yang paling tahu. Maka dari itu, yuks, kenali diri kita, passion, kekuatan dan potensi kita, SERTA SINYAL-SINYAL DARI-NYA. Seperti Ibu Yanti, yang berhasil menangkap sinyal-Nya, dan kemudian menyadari bahwa posisinya dalam memakmurkan bumi adalah dengan menjadi seorang Ibu (kalau buat perempuan, ini sudah pasti ya, dear J), serta homeschooler serba bisa bagi anak-anaknya sendiri; merancang, membangun, dan mengembangkan anak-anaknya menjadi seorang pemimpin yang bermanfaat bagi seluruh alam. Demi terciptanya, sebuah peradaban mulia di masa mendatang J. Aamiin.

Karena, Ibu..., engkaulah “sang arsitek peradaban” :”)
Hey Dear, do you proud of that "title"? you should be ;).

Terakhir banget, di samping ini ada foto cara mendidik anak berdasarkan sunnah Rasul :). Yuk coba disimak. Apakah nilai-nilai positif dan baik yang bisa kita ambil sudah sesuai dengan sunnahnya? Semoga tidak terlambat untuk memperbaiki apa-apa yang sudah masuk ke otak kita ya..


Wallahu a'lam. Yang benar dari Allah, yang salah dari saya. 
Wassalaamu’alaykum Wr. Wb.

Bandung, 5 Januari 2014.

Rabu, 11 Desember 2013

Kisah di Balik Buku “The CEO Way: 3 PUNGGAWA TELEKOMUNIKASI INDONESIA”


Alhamdulillaah, Alhamdulillaah.. saat ini kembali menyadari betapa besar nikmat-Nya J Kembali diingatkan bahwa Allah mampu memberikan nikmat (salah satunya: ilmu) dari arah yang tak terduga.. :’)

Ceritanya, malam itu saya dan teman-teman KARISMA ITB mau berangkat menuju pelantikan anggota baru KARISMA ITB. Selagi menunggu pemberangkatan kloter berikutnya, kami duduk sambil bercengkerama di bangku selasar masjid.

Ternyata, malam itu saya bertemu dengan korwat (koordinator akhwat) divisiku (divisi sponsorship) dulu di kepanitiaan IMSS (International Muslim Student Summit) 2012. Ada satu hal yang selalu beliau ucapkan setiap ketemu saya; “Al, bukunya masih di teteh..”. Ya, buku. Alhamdulillaah, selama bergabung di kepanitiaan tersebut, saya sempat sekali mendapat reward bulanan divisi. Bisa dibilang ini semacam metode ketua divisi untuk menyemangati kerja staf-stafnya, dan reward yang diberikan adalah sebuah buku.

Akhirnya, sang korwat-lah yang memberitahuku bahwa ada titipan hadiah buku buat saya. Saya tidak tahu persis buku apa, tapi yang saya tahu dari beliau judulnya ada “CEO” – “CEO”-nya, aja.. hehe. Dan ternyata jawabannya kutemukan malam itu.

Beliau menawarkan saya untuk menunggu beberapa menit di salman sampai ia kembali lagi. Pasalnya ia ingin balik sebentar ke kost-annya, sekalian mau ambil buku hadiah tersebut.
Awalnya saya ragu, khawatir saat beliau kembali, saya sudah tidak ada di tempat. Akhirnya kesepakatan dibuat: Kalaupun saya sudah tidak ada di salman, ya sudah tidak apa-apa, mungkin lain waktu. Tapi kalau masih ada, ya bagus J. Sip, dan saya pun menunggu di bangku selasar masjid.

Menit demi menit berlalu, dan kami belum kunjung berangkat. Akhirnya, beliau muncul. Sambil tersenyum, ia berikan buku itu. Dan betapa kagetnya saya, ketika melihat judul buku tersebut: “THE CEO WAY: 3 PUNGGAWA TELEKOMUNIKASI INDONESIA”.

DEG!
Saya langsung terhenyak. Dalam hati berkata, “Laah, gak salah ini?? Saya dikasih buku ini??
Ya, saya kaget. Karena buku yang diberikan pada saya adalah buku berbau telekomunikasi. Bayangkan, telekomunikasi! Wah, itu sama sekali bukan bidang yang saya tekuni, baik di dunia akademik (jurusan farmasi klinik) atau dunia organisasi (bidang pembinaan remaja dan training). Sama sekali tak ada. Pernah mendalami aja enggak. Hmm, apa gara-gara ketua divisinya anak teknik informatika?-_- (kan masih dekat lah ya, tetanggaan sama jurusan teknik telekomunikasi di itb~).

Namun ternyata, ada hikmah di balik 'salah jurusan'nya buku ini...

Saya terima buku itu dengan senang hati. Pasalnya kala itu saya sedikit bosan karena kami menunggu dan hanya menunggu keberangkatan sambil mengobrol-ngobrol. Pingiin banget baca sesuatu biar gak bosen. Eh, Alhamdulillaah, ada yang ngasih buku (y).

Dengan perasaan bingung (gara-gara judul bukunya), saya buka juga buku tersebut dan mulai membaca halaman pertama...
Oh, ternyata....
Seru!

Baru awal aja udah bilang seru. Mengapa?
Ya, karena ternyata, buku yang semula saya kira bahasanya berat (berasa buku teknik gitu-_-), ternyata tidak sama sekali. Bahasanya mudah dimengerti, gaul dan ringan.. and the stories are really exciting!

Buku ini bukan bercerita tentang dunia telekomunikasi secara eksplisit, tapi yang diceritakan di sini adalah kisah-kisah sukses para CEO atau direktur utama dari tiga perusahaan provider seluler terbesar di Indonesia. Yang mana, kisah mereka itu, bisa dibilang, keren!

Lewat buku ini, saya kembali diingatkan bahwa untuk menuju kesuksesan, itu bukanlah sesuatu yang mudah! Gak instan! Perlu kerja keras seperti yang sudah dilakukan oleh bapak2 ini (Rinaldi Frimansyah-Dirut Telkom, Hasnul Suhaimi-Dirut XLà paling suka ceritanya bapak ini, dan Sarwoto Atmosutarmo-Dirut Telkomsel), yang harus berbelas tahun dulu berkiprah di dunianya, sampai jadi CEO.
Betapa kegigihan, keseriusan, kelihaian dalam berkomunikasi (tetap ya, komunikasi teh paling penting), manajemen, dan tentunya kepemimpinan yang baik serta pribadi yang ramah sangat berpengaruh pada kesuksesan kita. Tak ketinggalan juga-pastinya-, ridho dan dukungan dari orangtua serta keluarga terdekat.

Di luar dari pesan-pesan itu, wawasan tentang telekomunikasi yang dikemas apik oleh Rizagana (penulis) sangat bermanfaat buat kita2 yang tadinya sama sekali gak tahu tentang seluk beluk bisnis telekomunikasi di indonesia, jadi tahu.

Buku ini cocok banget buat siapapun yang punya cita-cita mau jadi CEO, punya perusahaan, atau pengusaha sukses. In syaa Allah bisa menginspirasi dan mengingatkan kita untuk selalu memacu semangat dan menambah level usaha kita menuju mimpi itu. Sekalipun, anda BUKAN orang telekomunikasi. Seriously! ^^v.

Selepas membaca buku ini, saya jadi teringat satu hal yang akhir-akhir ini terlintas di pikiran. Beberapa hari terakhir sebelum saya mendapatkan buku ini, saya suka berdoa, ya Allah, pengen banget bisa belajar lebih dalam soal kepemimpinan, manajemen, plus pengen banget dapat sesuatu yang bisa memotivasi saya-kembali-supaya semangat meraih mimpi-mimpi saya.. Dan setelah baca buku ini, Alhamdulillaah, saya yakin hikmah-hikmah yang saya dapatkan dari buku ini adalah SALAH SATU jawaban dari doa saya :’). Begitupun dengan jawaban2 yang lainnya. Alhamdulillaah mereka berdatangan setelahnya, baik dari teman-teman divisi dan lintas divisi di karisma, kampus, keluarga, atau dari timeline2 inspiring di media sosial. Dan saya yakin seterusnya akan datang lagi :’).

Inspirasi lain yang saya dapatkan adalah, bila Rizagana bisa menulis buku tentang 3 Punggawa Telekomunikasi Indonesia, yang mana ketiganya merupakan perwakilan kaum lelaki, maka mengapa saya (atau anda-yang perempuan-mungkin) gak buat tentang kisah perjuangan Ibu-Ibu atau Istri-Istri dari bapak-bapak sukses seperti mereka? J Karena, di balik lelaki yang hebat, pasti ada perempuan hebat yang menyertainya J. Sepakat?? Kan jarang ya ada buku kayak gitu.. Siapa tahu bisa memotivasi para kaum perempuan (termasuk saya) untuk lebih bersemangat lagi dalam mempersiapkan diri menjadi pendamping hidup yang sholehah, menenangkan, menginspirasi, dan menyenangkan (bi-idznillaah) bagi suami, serta menjadi ibu yang baik, mendidik, dan teladan bagi anak-anaknya. Aamiin. (#eh, semoga ya, bisa beneran tercetak bukunya, Aamiin.)

Namun, dari beberapa nilai2 yang bisa diambil dari buku ini, ada satu nilai yang saya rasa paling penting, here is it:
"Semua nilai akan kegigihan meraih kesuksesan dalam buku ini tentu tidak hanya berlaku pada kesuksesan menjadi seorang CEO saja. Segala apapun bentuk kesuksesan, bagaimanapun kau mengukur parameternya, pastilah membutuhkan suatu jerih usaha yang kuat. Lalu, bila meraih kesuksesan dunia butuh kerahan usaha sekuat tenaga, bagaimana dengan kesuksesan di akhirat? Of course, it will takes more! :) Jadi, mari bersiap2 meraih kesuksesan. Kesuksesan yang hakiki, in syaa Allah dunia-akhirat, Aamiin."

Sekian sharing ‘kisah dibalik buku’ pagi ini! Sekali lagi, makasih banyak, Jazakumullaah khair buat ketua divisi, korwat (dan all team divisi sponsorship IMSS 2012). Semoga dapat pahala yang tak terputus karena udah jadi jalan ngasih ilmu ini :), plus silaturahim kita bisa tetap terjalin sampai kematian menjemput.

Sip, and to all readers, semoga kita bisa selalu mengambil hikmah dari setiap kejadian yang terjadi di sekitar kita, Aamiin. J
Today’s Quote: “Kamu lebih besar daripada masalahmu. Dan katakan pada masalah besarmu, bahwa ada Tuhanku yang Maha Besar yang selalu bersamaku! J” -Inspiration from Ayse, Fahma Pasha's daughter (99 Cahaya di Langit Eropa).

Apa kabar hari ini???
Alhamdulillaah, luar biasa, Allaahu Akbar!

Wassalaamu'alaykum.

Jumat, 18 Oktober 2013

Bukan karena aku BAIK, tapi karena aku ingin MENJADI BAIK

Bismillaah...

Hanya ingin menuliskan beberapa baris saja malam ini..

Bukan karena aku sudah baik, lantas aku menutup aurat..
Justru karena aku ingin menjadi baik lah, maka kututup auratku...

Bukan karena aku ahli dalam menahan nafsu, lantas aku menahan pandanganku...
Justru di saat itulah, aku sedang berjuang keras melawan hawa nafsuku...

dan..
Bukan karena aku sudah shalih, lalu aku berdakwah...
Justru, karena aku ingin shalih, maka kuputuskan untuk berdakwah...

Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Bersama Allah, kita bisa :)

Senin, 14 Oktober 2013

Kisah Emas, Intan, Permata dan Berlian

Assalaamu'alaykum, sahabat. Bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat lahir dan batin ya, Aamiin. :)

Sebelum saya mengulas empat perhiasan yang ada di judul ini (berasa mau jualan hehe), izinkan saya untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Adha" kepada sahabat-sahabat Muslim dan Muslimah di seluruh dunia :)
Semoga bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji, hajinya mabrur, yang belum, segera dimampukan (termasuk penulis), Aamiin. Dan tentunya semoga amal kurban kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin..

Sekarang, izinkan saya berbagi sebuah kisah. Hmm... kisah ini cukup panjang. Tapi mudah-mudahan bisa menjadi masukan positif bagi kita semua. Sip, let's check it out. Semoga bermanfaat!

 Kisah Emas, Intan, Permata dan Berlian

Oleh: Aliya Nur Zahira
           
Hai, namaku Emas. Ini sebuah kisah tentang diriku. Sebuah kisah sederhana tentang bagaimana persepsi membentuk diri kita. Kau mau kan menyimak kisahku ini?
            Dua bulan belakangan itu, aku merasa sedang tidak bersemangat. Hari-hari aku lalui dengan penuh kecemasan, kebingungan, kesedihan, dan semua terasa lebih melelahkan dari biasanya. Entah karena kesibukan aktifitasku yang semakin padat atau memang karena motivasiku sedang turun. Ya, kesibukan akademik sebagai siswa kelas dua yang baru masuk penjurusan, tentu berbeda dengan kondisi saat aku masih kelas satu dulu. Di mana rasanya sekolah adalah arena bermain kami. Belum lagi dengan posisi siswa kelas dua yang memegang kepengurusan inti baik di OSIS, ekstrakurikuler, ataupun kepanitiaan acara sekolah.
Aku pun khawatir sikapku belakangan ini malah berdampak buruk bagi sahabat-sahabat di sekitarku. Lantas suatu hari, aku memutuskan untuk bertanya pada salah seorang sahabatku, sebut saja namanya Intan. Ke mana ada Intan, biasanya di sana ada aku.
            “Tan, aku mau tanya. Tapi jujur, ya..” sergapku begitu Intan menyelesaikan suapan sarapan terakhirnya. Kantin sekolah pagi itu cukup ramai. Sepertinya, banyak siswa yang belum sempat sarapan di rumah seperti aku dan Intan.
            “Iya, tanya apa?” ujarnya sambil tersenyum tulus sambil menampakkan wajah keheranan karena seorang aku memang tidak biasa bertanya dengan gaya seperti itu, hehe.
            “Kamu ngerasa ada yang beda gak dari diri aku sekarang?”
            “Hmm, menurut aku, kamu tuh sekarang bedaaa. Aku lebih senang lihat kamu yang sekarang daripada yang dulu. Kamu yang sekarang lebih peduli. Kalau dulu tuh ya, aku pas pertama ketemu kamu, langsung kaget lah. Ini anak apa sih? Masak pinjam dua double tape aku dan dua-duanya di-ilangin?? Terus dulu kamu orangnya keliatan ngejar tugas banget. Gak terlalu peduli sama orang di sekitar kamu atau pun orang yang kerja bareng kamu. Yaa.. emang sih tipe kayak gitu bakal bagus kalau di dunia kerja, kerjaannya beres dan hasilnya bagus. Tapi tetap saja, aku lebih suka kamu yang sekarang..”
            Aku terhenyak mendengar jawabannya. Benakku terdiam. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya ‘Oh’ yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Sebenarnya aku sedikit ‘kecewa’ karena jawabannya di luar harapanku.
***
            Ini kali keduanya aku menanyakan hal yang sama pada sahabatku yang lain, sebut saja namanya Permata.
Siang itu, Permata yang ceria duduk sendiri di depan kantin. Sepertinya ia sedang menunggu seorang temannya. Tanpa pikir panjang, aku yang sedang luang langsung menawarkan diri untuk menemaninya. Obrolan akrab pun terjalin. Cerita-cerita Permata yang mengundang tawa, selalu berhasil menghipnotis perhatianku. Hampir saja aku dibuat lupa akan pertanyaan utamaku. Lantas, begitu tawanya reda, kulontarkan saja pertanyaan itu. Dan inilah jawabannya.
            “Aku tuh lebih seneng ngeliat kamu yang sekaraang.. Kamu tuh sekarang lebih kelihatan bahagia daripada waktu dulu, pas jaman kelas satu itu loh.. Ya ampuun, kalau ngeliat kamu tuh kayaknya kebanyakan murungnya, muka susah deh, hehe. Pokoknya kamu bagus kayak gini. Emas tetap kayak gini ya..!” jawabnya bersemangat dengan penuh senyuman.
            Lagi-lagi aku terhenyak dan kaget. Kembali aku mendapatkan jawaban di luar harapanku. Aku hanya bisa membalas senyuman cerianya dengan senyuman palsu.
***
            Kali ketiga aku menanyakan hal yang sama. Sore itu langit begitu cerah. Sahabatku kali ini boleh kalian sebut, Berlian. Sahabat yang sejak kelas satu dulu selalu berada dalam satu kepanitiaan denganku. Entah itu acara OSIS, ekstrakurikuler, ataupun acara tahunan sekolah. Aku tak tahu mengapa itu terjadi, tapi aku yakin itu bukan kebetulan. Maka, aku selalu yakin, ada sesuatu yang istimewa dari keberadaan Berlian di sampingku. Dan ketika aku menanyakannya, ia hanya menjawab singkat sambil tersenyum-senyum. “Ooh.. Hmm, Emas itu sekarang kayaknya lebih.. Ceriaaa! Seneng aja ngeliatnya. Hihihi..”
Aku menghela napas. Begitu ya, Ber..?
***
Sore itu hujan deras di Masjid Raya samping sekolah. Aku pun memutuskan untuk menunaikan sholat Maghrib dahulu sebelum pulang. Ketika itu aku bertemu kembali dengan Berlian.
            Sejak melihatnya, aku sudah memutuskan untuk mengobrol dengannya. Aku ingin membahas perihal pertanyaan yang aku ajukan tempo hari. Namun, ada satu kejadian konyol yang mengawali momen itu.
            Seusai sholat, seperti biasa kami kembali ke sekretariat ekstrakurikuler kerohanian kami, yang lokasinya tepat di samping Masjid. Kami hanya mengambil tas dan barang bawaan lainnya lalu langsung bergegas pulang. Namun langkahku terhenti di depan sekretariat begitu menyadari ada sesuatu yang berbeda di kakiku.
            “Sebentar, Ber.. Kayaknya ada yang beda..”
            “Apa?” tanyanya kebingungan.
            Aku pun menaruh curiga pada sepatu sandal yang aku pakai. Kok rasanya beda dari sepatu sandal yang biasa kupakai ya? Yang satu oke sih, tapi yang sebelahnya itu loh.. Ada yang beda!
            “Aduh, kayaknya aku salah ambil sepatu deh, Ber. Sebentar ya..” ujarku sedikit panik, sambil sedikit tertawa.
            Berlian tertawa kecil. “Oh, ya ampun. Iya, sok, sok..”
            Aku berlari kecil ke arah penyimpanan sepatu perempuan, di bagian depan pintu masuk masjid. Kucari sepatu sandal yang mirip dengan yang kupakai, berharap di antara sepatu-sepatu itu, ada yang tertukar dengan sepatu yang sedang kupakai. Agak sulit memang, mengingat model dan warna sepatu sandal berbahan karet yang kupakai termasuk yang sangat umum di pasaran.
            Beberapa menit aku mencarinya, namun tak jua ketemu. Hingga akhirnya kuperiksa sendiri sepatuku yang terasa berbeda itu. Aku lihat bagian bawahnya, dan ternyata...
            “Ya ampun, Ber!! Aku tahu kenapa! Sebentar..” sahutku sambil berlari kecil kembali ke rak sepatu di depan sekretariat ekstrakurikulerku. Berlian mengikutiku dari belakang.
            Aku mencari-cari sepotong benda yang raib itu. Ketemu! Di sini kau rupanya.. Ya, bantalan karet setengah oval berwarna cokelat itulah yang kucari. Rupanya yang membuat sebelah sepatuku terasa berbeda saat diinjak adalah karena bantalan karetnya terlepas! Jadi, wajar ketika kupakai, sepatu yang sebelah terasa lebih rendah.
            Melihat tingkahku mengambil bantalan karet itu dan membungkusnya dengan kresek hitam kecil, Berlian tertawa. “Ya ampuun, kok bisa..,” ujarnya sambil geleng-geleng tanpa berhenti tersenyum. Aku pun ikut tertawa bersamanya.
            Setelah si biang masalah ditemukan, kami melanjutkan perjalanan pulang melewati sisi luar koridor masjid. Rupanya, Berlian tetap tak bisa menghentikan tawanya hingga ujung koridor, di mana kami harus berpisah. Aku pun penasaran, dan bertanya, “Kenapa, sih, Beer?”
            “Hihihi, gak apa-apa. Cuma mau bilang makasih banyak ya.. Tau gak, aku tuh hari ini gak pingin datang ke sekre (sekretariat-red.), soalnya lagi sibuk banget di OSIS, terus pikirannya lagi gak enak banget deh. Gak enak ketemu teman-teman yang lain, belum lagi tugas-tugas yang ada juga belum selesai. Pokoknya malu mau ke sekre. Eh ternyata malah ketemu Emas, dan akhirnya sekarang aku malah ketawa-ketawa terus. Makasih banyak ya udah bisa bikin aku senang lagi hari ini, walaupun dengan kejadian yang keciil banget..” ujarnya dengan wajah bahagia yang aku tahu jelas itu sungguhan. Tak ada kebohongan yang tampak di wajahnya.
            Lagi. Jawaban sejenis itu lagi.
Saat itu, rasanya aku merasa sangat kecil.
***
            Sahabat, inilah akhir kisahku kali ini. Mungkin ketika kita merasa kecil, ketika kita merasa lemah, ketika kita merasa diri ini sedang out of order, tidak selamanya perasaan kita itu benar. Kau tahu, aku sebenarnya mengharapkan jawaban sejenis ini dari Intan, Permata, dan Berlian:
            “Iya, Mas. Kamu tuh sekarang lagi kelihatan sedih, ya? Akhir-akhir ini kelihatan lemas. Coba deh lakuin blablablabla.., biar kamu semangat lagi!”
            Ya, jawaban sejenis itulah yang kuharapkan. Aku berharap mereka merasakan seperti apa yang sedang kurasakan lantas memberikan saran agar aku bisa lebih bersemangat. Namun jawaban yang keluar dari mulut mereka justru berbalik 180 derajat. Aku jadi berpikir, apa iya itu yang mereka lihat dari aku sekarang? Apa memang mereka tidak melihat dan merasakan kelelahan dan kelesuan yang aku rasakan? Atau jangan-jangan itu semua hanya perasaanku saja?? Apa selama ini aku hanya membesar-besarkannya saja? Apa benar.. sekarang aku lebih ceria? Lebih bahagia? Bahkan aku bisa membuat mereka tersenyum dengan hal kecil yang tak terduga??
            Malam itu, selama perjalanan pulang, aku merenung. Jika aku akhir-akhir ini merasa sedang dalam kesulitan, kesedihan, kelelahan, mungkin benar, bahwa itu semua hanyalah ANGGAPAN-ku semata. Itu hanya peperangan yang terjadi di dalam diriku sendiri. Peperangan yang kubesar-besarkan, kuakui kesengitannya, hingga akhirnya anggapan itu tumbuh dengan subur dalam pikiranku.
            Ternyata, kata mereka berbeda loh. Kita tak seburuk apa yang kita pikirkan. Maka, malam ini, izinkan aku berbagi pesan dan hikmah yang aku dapatkan kepadamu dari kisah ini. Bukan, bukan. Aku bukan bermaksud menggurui. Justru aku ingin berbagi, untuk mengingatkan diriku sendiri.
              Ya, mungkin yang bisa kudapatkan adalah suatu pesan, bahwa jika dalam situasi seperti kisahku ini kita tetap merasa buruk, jawabannya tidak lain adalah ada yang salah dalam pikiran kita sendiri. Ada yang salah dalam diri kita. Dan yang mungkin yang utama, ada yang sedikit retak dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta... Dan inilah sekarang tugas kita untuk langsung membenahinya, membetulkan posisinya, dan bangkit dari keterpurukan itu. Dekati kembali Ia, mohonkan petunjuk-Nya, minta Ia lebih erat lagi memeluk-Mu. Setelah itu, benahi hubungan kita dengan diri sendiri. Benahi persepsi diri yang selama ini salah! Hindari terlalu fokus pada kelemahan kita, sampai-sampai melupakan kelebihan yang telah Ia berikan, yang bisa kita manfaatkan untuk orang lain.
          Mari bangkit, benahi hubungan kita dengan Sang Pencipta, hubungan kita dengan diri sendiri. Lupakan kesedihan itu, ubahlah persepsi diri kita. Fokuslah pada kelebihanmu. Buang semua energi negatifmu hari ini! Undang energi positif di sekitarmu. Dengan cara apa?
        Yang aku tahu, tentu dengan perbanyak bersyukur kepada-Nya dari setiap hal yang terjadi di sekeliling kita. Mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Dari yang ter-gaib sampai yang paling nyata. Kalau kata Pak Ibrahim Elfiky, salah satu motivator dunia kesenanganku, mulailah hari dengan berkata, “Selamat Pagi, Tuhan. Terimakasih atas berkah-Mu pagi ini. Hari ini kupersembahkan untuk-Mu. J”.
Ffuuh, sahabat, dua bulan belakangan ini mungkin merupakan dua bulan paling melelahkan selama hidupku. Namun, dua bulan inilah yang akan menjadi batu loncatanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Menjadi pribadi Emas 24 karat yang banyak dicari orang. Menjadi pribadi Emas yang semakin bermanfaat untuk orang banyak.

***
Sejujurnya, kisah ini diangkat dari kisah nyata, dengan perubahan latar dan sedikit tokoh :) hehe. Jika ada kesamaan nama dan tempat, sesungguhnya itu bukan kebetulan, pasti ada sinyal-sinyal-Nya yang harus kita terjemahkan ;) Selamat memetik hikmah dari setiap kejadian di sekitarmu.

Wallahu a'lam :)
Wassalaamu'alaykum.

Minggu, 13 Oktober 2013

Abstraknya Syukur

Apa kabar sahabat-sahabat?
Semoga selalu luar biasa, dengan tak lupa bersyukur atas segala nikmat yang masih Ia percayakan kepada kita :) Aamiin..

Sahabat, ketika mendengar kata "Abstrak", apa yang terlintas di benak sahabat-sahabat?
Ya, sesuatu yang tak dapat kita lihat, tak dapat kita deskripsikan wujudnya. Kembali mengacu ke KBBI online, katanya abstrak itu "tidak berwujud; tidak berbentuk". Contoh yang sering kita dengar dari benda abstrak adalah gravitasi. Kenapa gravitasi itu abstrak? Ya karena kita dapat merasakannya, namun tak dapat melihatnya! Tak juga dapat menyentuhnya..

Hehe, nah, tentu selain gravitasi banyak lagi contohnya hal abstrak yang ada di sekeliling kita. Seperti "rasa sakit".
Waktu kamu ditampar, 'plaaak!'.. Biasanya kita bilang, "Aw, sakit tahu!". Terus orang yang namparnya bakal bilang, "Mana sakitnya?? Tunjukkin dong!". Lah, ya mana bisa kita menunjukkan bentuk dari rasa sakit itu hehe. Yang ada, yang kita tunjuk adalah pipi kita. Yang jelas-jelas itu namanya pipi, bukan 'sakit' hehe.

Apa lagi coba benda abstrak itu? Pasti banyak ya, dan saya yakin, di kepala sahabat-sahabat juga sudah terbayang dan tersebutkan contoh benda-benda abstrak yang ada di sekitar kita.
Yup, salah satunya adalah yang sudah saya tuliskan dalam judul postingan ini, yaitu.... "SYUKUR".

kok syukur itu abstrak? Emang iya gitu?
Hm, mungkin lebih tepatnya, "syukur itu abstrak" adalah sebuah kiasan.
Secara langsung, syukur itu gak kelihatan!
Kita tidak bisa melihat seperti apa syukur itu. Tepatnya, saking abstraknya, seringkali kita yang sengaja tidak melihatnya, menutup-nutupi keberadaannya, tidak berusaha mewujudkannya, sampai jadinya abstrak beneran deh.

Sebelum lanjut, supaya lebih mantep, mari sama-sama kita simak, bayangkan, renungkan, dan rasakan setiap kata dalam kisah di bawah ini..

***
Ini tentang sekelumit kisah hidup seorang Ibu dosen di kampus A. Ibu ini terkenal tegas saat mengajar. Raut muka dan penampilannya pun sedikit terlihat 'garang' untuk ukuran seorang dosen perempuan. Sorot matanya tajam.
Cara mengajarnya bisa dibilang lumayan mudah dipahami. Selain menyampaikan materi kuliah, kadang juga, beliau suka menyindir kebijakan-kebijakan pemerintah dan kebijakan kampus A tempat beliau diajar dan mengajar. Sindirannya itu seringkali membuat mahasiswa-mahasiswa di kelasnya membulatkan mulutnya, "Ooooo, iya juga ya.. Kok baru kepikiran".. dan ekspresi-ekspresi lain yang sejenisnya.
Karena sikapnya yang demikian, mahasiswa banyak yang tak berani datang telat ataupun tidak serius mengikuti kelasnya. Biasanya kelas jadi sepi dan kondusif setiap beliau mengajar.
Kemudian, kabar itu datang. Berawal dari melihat deretan foto-foto lama (jadul) dosen-dosen di fakultas tersebut, ditemukanlah foto wajah yang mirip dengan Ibu dosen, lengkap dengan kerudung lebarnya.
Walhasil, penampakan itu mengagetkan tiap mahasiswa yang melihatnya. Apakah benar foto itu adalah sang Ibu dosen?
Nama di bawah foto itu akhirnya menjawab pertanyaan itu. Tidak salah lagi. Ya, tidak salah lagi, bahwa foto itu adalah sang Ibu Dosen yang rambutnya selalu dibiarkan terurai panjang itu.
Foto itu menunjukkan sosok sang Ibu Dosen saat baru lulus dari kuliahnya dulu. Seorang perempuan yang memakai kerudung kain lebar, layaknya aktifis-aktifis dakwah kampus. Tapi, sekarang? Kemana kerudungnya?
Selidik punya selidik, kabarnya, sang Ibu itu melepas kerudungnya saat mendapat kesempatan untuk menimba ilmu ke sebuah negara di belahan dunia barat sana.

Entah alasan apa yang membuat Ibu dosen kemudian melepas kerudungnya. Entah alasan peraturan pemerintah di sana, atau.. ah entahlah, mungkin mahasiswanya tidak ada yang tahu. Lantas bila hanya karena peraturan pemerintah di negara tersebut, mengapa setelah pulang dari sana, tak juga ia kenakan kembali kain segi empat itu?

***
Sahabat, terus terang, begitu saya mendengar kisah di atas, rasanya seperti ada petir yang menyambar di belakang kepala (agak #lebay, tapi beneran sih rasanya kayak gini hehe). Kaget, ya saya kaget sekali dan tiba-tiba rasa iba menyeruak kepada sang Ibu Dosen tersebut. Berjuta pertanyaan muncul di kepala saya.. "Ya ampun, kok bisa? Aduh, sayang banget yaa? Kenapa sih bisa dilepas? ....." dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Yang jelas saya dan teman-teman saya begitu dan sangat menyayangkan kejadian itu........ Innalillaahi...

:'(

Sampai saat ini, saya masih suka bertanya-tanya. Apa yang menyebabkan Ibu Dosen 'rela' melepas jilbabnya saat itu? Apa karena faktor eksternal atau bahkan internal?? Kini, bila saya berkesempatan melihat Ibu Dosen tersebut, pandangan saya yang tadinya agak sedikit segan (karena penampilannya yang sedikit garang tadi) menjadi iba.. Ah, Ibu, mengapa kerudung itu harus dilepas?..

Sepulangnya di rumah, saya kembali merenung. Ya Allah, betapa sesungguhnya kita tuh (especially kaum muslimah) harus bersyukur... Apalagi bagi yang Alhamdulillaah, sudah memutuskan untuk berkerudung. Bersyukurlah sahabat, karena di zaman kita ini, kita bebas untuk menggunakannya. Tak jua ada larangan menutup aurat dari negara, pemerintah atau institusi-institusi tertentu tempat kita bekerja atau menimba ilmu. Dan yang paling penting, bersyukurlah karena Allah masih menjaga hati kita, agar tetap setia mempertahankan kerudung ini :") Alhamdulillaah...

bersyukurlah, bersyukurlah...
mudah-mudahan kita termasuk kelompok manusia yang mau membuka pandangan mata dan hati kita terhadap "syukur" tersebut. sehingga syukur tak perlu lagi menjadi sebuah benda abstrak yang tak bisa kita wujudkan "wujud"-nya.

apa sih wujud syukur itu sebenarnya? :)

Syukur bisa diwujudkan salah empatnya, dalam empat hal; Hati, Lisan, Harta, Perbuatan.

Bersyukur dengan perbuatan? Ya, syukurilah kerudungmu dengan jaga terus kehormatan dirimu sebagai wanita, jaga akhlakmu sebagai seorang muslimah, jaga dengan terus bergerak dan berjuang membawa syi'ar Islam dengan kerudungmu :).

Yuk, wujudkan ke-abstrak-kan syukur yang suka sengaja kita abstrakkan (hehe), dengan.. BERSYUKUR :)

Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam.