Senin, 14 Oktober 2013

Kisah Emas, Intan, Permata dan Berlian

Assalaamu'alaykum, sahabat. Bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat lahir dan batin ya, Aamiin. :)

Sebelum saya mengulas empat perhiasan yang ada di judul ini (berasa mau jualan hehe), izinkan saya untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Adha" kepada sahabat-sahabat Muslim dan Muslimah di seluruh dunia :)
Semoga bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji, hajinya mabrur, yang belum, segera dimampukan (termasuk penulis), Aamiin. Dan tentunya semoga amal kurban kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin..

Sekarang, izinkan saya berbagi sebuah kisah. Hmm... kisah ini cukup panjang. Tapi mudah-mudahan bisa menjadi masukan positif bagi kita semua. Sip, let's check it out. Semoga bermanfaat!

 Kisah Emas, Intan, Permata dan Berlian

Oleh: Aliya Nur Zahira
           
Hai, namaku Emas. Ini sebuah kisah tentang diriku. Sebuah kisah sederhana tentang bagaimana persepsi membentuk diri kita. Kau mau kan menyimak kisahku ini?
            Dua bulan belakangan itu, aku merasa sedang tidak bersemangat. Hari-hari aku lalui dengan penuh kecemasan, kebingungan, kesedihan, dan semua terasa lebih melelahkan dari biasanya. Entah karena kesibukan aktifitasku yang semakin padat atau memang karena motivasiku sedang turun. Ya, kesibukan akademik sebagai siswa kelas dua yang baru masuk penjurusan, tentu berbeda dengan kondisi saat aku masih kelas satu dulu. Di mana rasanya sekolah adalah arena bermain kami. Belum lagi dengan posisi siswa kelas dua yang memegang kepengurusan inti baik di OSIS, ekstrakurikuler, ataupun kepanitiaan acara sekolah.
Aku pun khawatir sikapku belakangan ini malah berdampak buruk bagi sahabat-sahabat di sekitarku. Lantas suatu hari, aku memutuskan untuk bertanya pada salah seorang sahabatku, sebut saja namanya Intan. Ke mana ada Intan, biasanya di sana ada aku.
            “Tan, aku mau tanya. Tapi jujur, ya..” sergapku begitu Intan menyelesaikan suapan sarapan terakhirnya. Kantin sekolah pagi itu cukup ramai. Sepertinya, banyak siswa yang belum sempat sarapan di rumah seperti aku dan Intan.
            “Iya, tanya apa?” ujarnya sambil tersenyum tulus sambil menampakkan wajah keheranan karena seorang aku memang tidak biasa bertanya dengan gaya seperti itu, hehe.
            “Kamu ngerasa ada yang beda gak dari diri aku sekarang?”
            “Hmm, menurut aku, kamu tuh sekarang bedaaa. Aku lebih senang lihat kamu yang sekarang daripada yang dulu. Kamu yang sekarang lebih peduli. Kalau dulu tuh ya, aku pas pertama ketemu kamu, langsung kaget lah. Ini anak apa sih? Masak pinjam dua double tape aku dan dua-duanya di-ilangin?? Terus dulu kamu orangnya keliatan ngejar tugas banget. Gak terlalu peduli sama orang di sekitar kamu atau pun orang yang kerja bareng kamu. Yaa.. emang sih tipe kayak gitu bakal bagus kalau di dunia kerja, kerjaannya beres dan hasilnya bagus. Tapi tetap saja, aku lebih suka kamu yang sekarang..”
            Aku terhenyak mendengar jawabannya. Benakku terdiam. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya ‘Oh’ yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Sebenarnya aku sedikit ‘kecewa’ karena jawabannya di luar harapanku.
***
            Ini kali keduanya aku menanyakan hal yang sama pada sahabatku yang lain, sebut saja namanya Permata.
Siang itu, Permata yang ceria duduk sendiri di depan kantin. Sepertinya ia sedang menunggu seorang temannya. Tanpa pikir panjang, aku yang sedang luang langsung menawarkan diri untuk menemaninya. Obrolan akrab pun terjalin. Cerita-cerita Permata yang mengundang tawa, selalu berhasil menghipnotis perhatianku. Hampir saja aku dibuat lupa akan pertanyaan utamaku. Lantas, begitu tawanya reda, kulontarkan saja pertanyaan itu. Dan inilah jawabannya.
            “Aku tuh lebih seneng ngeliat kamu yang sekaraang.. Kamu tuh sekarang lebih kelihatan bahagia daripada waktu dulu, pas jaman kelas satu itu loh.. Ya ampuun, kalau ngeliat kamu tuh kayaknya kebanyakan murungnya, muka susah deh, hehe. Pokoknya kamu bagus kayak gini. Emas tetap kayak gini ya..!” jawabnya bersemangat dengan penuh senyuman.
            Lagi-lagi aku terhenyak dan kaget. Kembali aku mendapatkan jawaban di luar harapanku. Aku hanya bisa membalas senyuman cerianya dengan senyuman palsu.
***
            Kali ketiga aku menanyakan hal yang sama. Sore itu langit begitu cerah. Sahabatku kali ini boleh kalian sebut, Berlian. Sahabat yang sejak kelas satu dulu selalu berada dalam satu kepanitiaan denganku. Entah itu acara OSIS, ekstrakurikuler, ataupun acara tahunan sekolah. Aku tak tahu mengapa itu terjadi, tapi aku yakin itu bukan kebetulan. Maka, aku selalu yakin, ada sesuatu yang istimewa dari keberadaan Berlian di sampingku. Dan ketika aku menanyakannya, ia hanya menjawab singkat sambil tersenyum-senyum. “Ooh.. Hmm, Emas itu sekarang kayaknya lebih.. Ceriaaa! Seneng aja ngeliatnya. Hihihi..”
Aku menghela napas. Begitu ya, Ber..?
***
Sore itu hujan deras di Masjid Raya samping sekolah. Aku pun memutuskan untuk menunaikan sholat Maghrib dahulu sebelum pulang. Ketika itu aku bertemu kembali dengan Berlian.
            Sejak melihatnya, aku sudah memutuskan untuk mengobrol dengannya. Aku ingin membahas perihal pertanyaan yang aku ajukan tempo hari. Namun, ada satu kejadian konyol yang mengawali momen itu.
            Seusai sholat, seperti biasa kami kembali ke sekretariat ekstrakurikuler kerohanian kami, yang lokasinya tepat di samping Masjid. Kami hanya mengambil tas dan barang bawaan lainnya lalu langsung bergegas pulang. Namun langkahku terhenti di depan sekretariat begitu menyadari ada sesuatu yang berbeda di kakiku.
            “Sebentar, Ber.. Kayaknya ada yang beda..”
            “Apa?” tanyanya kebingungan.
            Aku pun menaruh curiga pada sepatu sandal yang aku pakai. Kok rasanya beda dari sepatu sandal yang biasa kupakai ya? Yang satu oke sih, tapi yang sebelahnya itu loh.. Ada yang beda!
            “Aduh, kayaknya aku salah ambil sepatu deh, Ber. Sebentar ya..” ujarku sedikit panik, sambil sedikit tertawa.
            Berlian tertawa kecil. “Oh, ya ampun. Iya, sok, sok..”
            Aku berlari kecil ke arah penyimpanan sepatu perempuan, di bagian depan pintu masuk masjid. Kucari sepatu sandal yang mirip dengan yang kupakai, berharap di antara sepatu-sepatu itu, ada yang tertukar dengan sepatu yang sedang kupakai. Agak sulit memang, mengingat model dan warna sepatu sandal berbahan karet yang kupakai termasuk yang sangat umum di pasaran.
            Beberapa menit aku mencarinya, namun tak jua ketemu. Hingga akhirnya kuperiksa sendiri sepatuku yang terasa berbeda itu. Aku lihat bagian bawahnya, dan ternyata...
            “Ya ampun, Ber!! Aku tahu kenapa! Sebentar..” sahutku sambil berlari kecil kembali ke rak sepatu di depan sekretariat ekstrakurikulerku. Berlian mengikutiku dari belakang.
            Aku mencari-cari sepotong benda yang raib itu. Ketemu! Di sini kau rupanya.. Ya, bantalan karet setengah oval berwarna cokelat itulah yang kucari. Rupanya yang membuat sebelah sepatuku terasa berbeda saat diinjak adalah karena bantalan karetnya terlepas! Jadi, wajar ketika kupakai, sepatu yang sebelah terasa lebih rendah.
            Melihat tingkahku mengambil bantalan karet itu dan membungkusnya dengan kresek hitam kecil, Berlian tertawa. “Ya ampuun, kok bisa..,” ujarnya sambil geleng-geleng tanpa berhenti tersenyum. Aku pun ikut tertawa bersamanya.
            Setelah si biang masalah ditemukan, kami melanjutkan perjalanan pulang melewati sisi luar koridor masjid. Rupanya, Berlian tetap tak bisa menghentikan tawanya hingga ujung koridor, di mana kami harus berpisah. Aku pun penasaran, dan bertanya, “Kenapa, sih, Beer?”
            “Hihihi, gak apa-apa. Cuma mau bilang makasih banyak ya.. Tau gak, aku tuh hari ini gak pingin datang ke sekre (sekretariat-red.), soalnya lagi sibuk banget di OSIS, terus pikirannya lagi gak enak banget deh. Gak enak ketemu teman-teman yang lain, belum lagi tugas-tugas yang ada juga belum selesai. Pokoknya malu mau ke sekre. Eh ternyata malah ketemu Emas, dan akhirnya sekarang aku malah ketawa-ketawa terus. Makasih banyak ya udah bisa bikin aku senang lagi hari ini, walaupun dengan kejadian yang keciil banget..” ujarnya dengan wajah bahagia yang aku tahu jelas itu sungguhan. Tak ada kebohongan yang tampak di wajahnya.
            Lagi. Jawaban sejenis itu lagi.
Saat itu, rasanya aku merasa sangat kecil.
***
            Sahabat, inilah akhir kisahku kali ini. Mungkin ketika kita merasa kecil, ketika kita merasa lemah, ketika kita merasa diri ini sedang out of order, tidak selamanya perasaan kita itu benar. Kau tahu, aku sebenarnya mengharapkan jawaban sejenis ini dari Intan, Permata, dan Berlian:
            “Iya, Mas. Kamu tuh sekarang lagi kelihatan sedih, ya? Akhir-akhir ini kelihatan lemas. Coba deh lakuin blablablabla.., biar kamu semangat lagi!”
            Ya, jawaban sejenis itulah yang kuharapkan. Aku berharap mereka merasakan seperti apa yang sedang kurasakan lantas memberikan saran agar aku bisa lebih bersemangat. Namun jawaban yang keluar dari mulut mereka justru berbalik 180 derajat. Aku jadi berpikir, apa iya itu yang mereka lihat dari aku sekarang? Apa memang mereka tidak melihat dan merasakan kelelahan dan kelesuan yang aku rasakan? Atau jangan-jangan itu semua hanya perasaanku saja?? Apa selama ini aku hanya membesar-besarkannya saja? Apa benar.. sekarang aku lebih ceria? Lebih bahagia? Bahkan aku bisa membuat mereka tersenyum dengan hal kecil yang tak terduga??
            Malam itu, selama perjalanan pulang, aku merenung. Jika aku akhir-akhir ini merasa sedang dalam kesulitan, kesedihan, kelelahan, mungkin benar, bahwa itu semua hanyalah ANGGAPAN-ku semata. Itu hanya peperangan yang terjadi di dalam diriku sendiri. Peperangan yang kubesar-besarkan, kuakui kesengitannya, hingga akhirnya anggapan itu tumbuh dengan subur dalam pikiranku.
            Ternyata, kata mereka berbeda loh. Kita tak seburuk apa yang kita pikirkan. Maka, malam ini, izinkan aku berbagi pesan dan hikmah yang aku dapatkan kepadamu dari kisah ini. Bukan, bukan. Aku bukan bermaksud menggurui. Justru aku ingin berbagi, untuk mengingatkan diriku sendiri.
              Ya, mungkin yang bisa kudapatkan adalah suatu pesan, bahwa jika dalam situasi seperti kisahku ini kita tetap merasa buruk, jawabannya tidak lain adalah ada yang salah dalam pikiran kita sendiri. Ada yang salah dalam diri kita. Dan yang mungkin yang utama, ada yang sedikit retak dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta... Dan inilah sekarang tugas kita untuk langsung membenahinya, membetulkan posisinya, dan bangkit dari keterpurukan itu. Dekati kembali Ia, mohonkan petunjuk-Nya, minta Ia lebih erat lagi memeluk-Mu. Setelah itu, benahi hubungan kita dengan diri sendiri. Benahi persepsi diri yang selama ini salah! Hindari terlalu fokus pada kelemahan kita, sampai-sampai melupakan kelebihan yang telah Ia berikan, yang bisa kita manfaatkan untuk orang lain.
          Mari bangkit, benahi hubungan kita dengan Sang Pencipta, hubungan kita dengan diri sendiri. Lupakan kesedihan itu, ubahlah persepsi diri kita. Fokuslah pada kelebihanmu. Buang semua energi negatifmu hari ini! Undang energi positif di sekitarmu. Dengan cara apa?
        Yang aku tahu, tentu dengan perbanyak bersyukur kepada-Nya dari setiap hal yang terjadi di sekeliling kita. Mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Dari yang ter-gaib sampai yang paling nyata. Kalau kata Pak Ibrahim Elfiky, salah satu motivator dunia kesenanganku, mulailah hari dengan berkata, “Selamat Pagi, Tuhan. Terimakasih atas berkah-Mu pagi ini. Hari ini kupersembahkan untuk-Mu. J”.
Ffuuh, sahabat, dua bulan belakangan ini mungkin merupakan dua bulan paling melelahkan selama hidupku. Namun, dua bulan inilah yang akan menjadi batu loncatanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Menjadi pribadi Emas 24 karat yang banyak dicari orang. Menjadi pribadi Emas yang semakin bermanfaat untuk orang banyak.

***
Sejujurnya, kisah ini diangkat dari kisah nyata, dengan perubahan latar dan sedikit tokoh :) hehe. Jika ada kesamaan nama dan tempat, sesungguhnya itu bukan kebetulan, pasti ada sinyal-sinyal-Nya yang harus kita terjemahkan ;) Selamat memetik hikmah dari setiap kejadian di sekitarmu.

Wallahu a'lam :)
Wassalaamu'alaykum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar