Sabtu, 04 Januari 2014

IBU, BERKARYA UNTUK MASYARAKAT MELALUI RUMAH, KARIR, DAN BISNIS (1)

Bismillaah...
Assalaamu'alaykum.

Alhamdulillaah, tepat tanggal 28 Desember tahun lalu, saya bersama dua orang teman saya dari Universitas Padjajaran (UNPAD) dan Institut Manajemen Telkom (IM TELKOM; eh katanya udah ganti jadi universitas ya?) berkesempatan untuk mengikuti seminar parenting “Ibuku lulusan ITB” yang diselenggarakan oleh komunitas ITB motherhood (sebuah komunitas yang didirikan oleh ibu-ibu muda lulusan ITB agar mereka bisa tetap saling menjaga silaturahim serta berbagi ilmu terkait pendidikan anak dan keluarga; sebagaimana peran para wanita sendiri sebagai ibu dan pengelola rumah tangga).
Moderator (berdiri), Ibu Yanti (kursi paling kiri), Ibu Nurhayati (tengah), Ibu Feny (kursi paling kanan).

            Sebenarnya apa sih yang menarik dari seminar ini?
Bila kita dengar judul seminarnya untuk pertama kali, mungkin kita akan merasa, 1) “waaaw, kereeen, ibu lulusan itb, hmm iya, kalau gue jadi ibu nanti, mau ngapain ya gue?”. Ini mungkin kata mahasiswi-mahasiswi ITB. 2) “Waah, mantap, ajang cari ilmu lebih dan silaturahim sama teman-teman lama, nih..”. Ini kata yang udah jadi ibu lulusan ITB, hehe. 3) “ih, apaan sih, ITB narsis banget.. so what gitu kalau lulusan ITB?”. Hmm, ini, kata siapapun yang sependapat dengan kalimatnya hehe. Seakan-akan, ada sesuatu yang ‘wah’ kalau anak kita punya ibu lulusan ITB. Naah, padahal mah, menurut salah satu pembicaranya (yang juga masih lulusan ITB), “Hey, IT DOES NOT MATTER, mau lulusan ITB, lulusan SMP, lulusan mana pun juga, SAMA AJA. Gak ada bedanya, KECUALI, kita mau untuk terus belajar cara pengasuhan dan pendidikan anak yang baik. ITU SAJA. THAT’S ALL, wahai para ibu dan calon ibu.” (and I AGREE with this statement,(Y)). Tambahnya lagi, paling-paling kalau ibunya lulusan ITB, jatuhnya jadi perfeksionis, terus bilang ke anaknya, “ya ampuun, gitu aja kok gak bisa, siiihh?” (walaupun tidak semuanya seperti ini, tapi buat yang merasa ITB, DILATIH yuk dear, jangan sampai jadinya kayak gini kalau ke anak J).
Yang menarik (kalau buat saya) dari acara ini adalah, kata-kata motherhood”, “ibu”, “parenting”, serta tema sesi 1: “ibu alumni ITB berkarya untuk masyarakat, melalui rumah, karir, atau bisnis”. Dari situ muncul keingintahuan yang besar buat belajar banyak hal dari para pembicara, terkait masa depan saya (dan para wanita muda lainnya) dalam menjadi seorang istri dan ibu. Untuk yang di rumah, mau tahu seperti apa sih, sang Ibu ini mengurus anak-anak dan mengelola rumah tangganya. Untuk yang berkarir dan bisnis, ingin tahu juga, bagaimana anak-anak mereka ketika mereka tinggal (pasti ya) untuk berkarir dan berbisnis itu? Plus-plus, Alhamdulillaah, bisa dapat ilmu tambahan juga mengenai ilmu parenting dan gizi keluarga dari para pakarnya, di sesi 2 seminar kali ini.
Here are the amazing speakers: Ibu Yanti (Alumni Planologi, mantan Ketua Unit Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA), homeschooler), Ibu Nurhayati (Alumni Farmasi, CEO Wardah Cosmetic), Ibu Feny (Alumni Biologi, dosen dan peneliti di Biologi ITB, PhD dari Australia). Sesi dua: Ibu Rani Razak (Alumni Teknik Industri, Parenting Trainer), Ibu ........ (maaf lupa; Alumni Planologi, pemerhati gizi keluarga).
OKE, di tulisan kali ini, saya ingin berbagi dengan teman-teman sekalian tentang hal-hal yang berkaitan dengan empat hal bercetak miring dan tebal (italic dan bold) di dua paragraf sebelumnya . Dimulai dari isi seminar sesi 1 bersama sang pembicara pertama, Ibu Yanti! But, please note, tidak semua informasi yang masuk dari seminar ini langsung kita terima mentah-mentah. Teman-teman pastinya sudah bisa memilah-milah, mana yang baik, mana yang harus diambil, mana yang cukup diambil pelajarannya saja J. Bila datang ke sini atau membaca ini bersama teman, mangga juga didiskusikan.
Uhmm, and, Well, it’s not about the name of university they went to, AGREE? ;)
J Happy learning, guys!

è Berkarya untuk masyarakat  melalui RUMAH.
Ibu Yanti, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, di masa kuliahnya merupakan seorang mahasiswi aktifis di kampus. Bisa kita lihat dari prestasinya menjadi ketua unit Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA). And, well, SHE is a GIRL! You can she how ‘macho’ is she, hihi. Ibu lulusan tahun 1989 ini mengaku dulu sama sekali TIDAK TERPIKIRKAN persiapan untuk menjadi seorang istri dan Ibu dengan segala kewajibannya. Yang terpikirkan adalah rencana-rencana serta mimpi-mimpi berkarir hingga tingkat tertinggi.

Ketika menikah, beliau tetap bekerja meniti karir di kantor. Hingga ia dikaruniai anak-anak yang ‘luar biasa’, memiliki jam tidur yang sedikit serta pola pikir jauh di atas anak-anak seusianya. Akhirnya, tahun 1990, Ibu Yanti memutuskan untuk berhenti bekerja, dan fokus mengurus anak-anaknya di rumah. Ia yakin, karunia tiga orang anak yang ketiga-tiganya ‘luar biasa’ ini adalah ‘sinyal’ dari Allah, bahwa memang ia HARUS fokus di rumah, mengurus, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya secara langsung. Pun ketika anaknya meminta untuk bersekolah di rumah, alias homeschooling, ibu Yanti mengiyakannya. Justru kesempatan ini ia jadikan sebagai tempat untuk mengembangkan dirinya baik dari segi ilmu, ataupun skill. Belajar mengembangkan diri menjadi kamus berjalan bagi anak-anaknya yang ‘luar biasa’.

Tak dipungkiri, yang namanya iri pasti muncul. Iri ketika berkumpul dengan teman-teman sesama alumni ITB yang memiliki karir melesat di kantornya, bahkan iri dengan sang suami yang satu angkatan dengannya. Ibu Yanti sempat berpikir, kita sama-sama satu angkatan, tapi kok dia punya kesempatan berkarir setinggi itu, sedangkan saya tidak. Kenapa saya harus di rumah saja? Mengurus segala hal ‘kecil’ seperti beres-beres rumah, dkk. Apa bedanya dengan ibu-ibu yang lain...? Namun kemudian, beliau memutuskan untuk menikmati hari-harinya bersama sang buah hati. Dengan terus melatih kesabaran, keikhlasan serta rasa bersyukur, ia temani anak-anaknya tumbuh dan berkembang, hingga ketiga anaknya ‘berhasil’ di minatnya masing-masing. Anak pertamanya, yang memiliki minat besar dengan batu-batuan, kini sudah bisa menjadi seorang pembicara di beberapa acara mengenai batuan (semacam geologi dkk) dalam usianya yang masih tergolong muda. Anak keduanya, yang mempunyai minat besar di dunia matematika, sudah mampu memecahkan soal-soal integral dalam usia 8 tahun (ckckck jadi ingat kalkulus). Anak ketiganya, yang berminat di bidang musik, sudah mampu bermain piano (atau keyboard ya, saya lupa) dengan lihai serta aktif mengikuti kompetisi ataupun konser-konser musik. Berangkat dari semua itu, secara perlahan, rasa kecemburuan terhadap karir teman-teman dan suaminya terkikis. Ia kini BANGGA dengan profesinya sebagai Ibu rumah tangga sekaligus homeschooler.

Dalam seminar kali ini, beliau banyak berbagi tentang bagaimana ia menumbuh kembangkan anak-anak ‘luar biasa’-nya. Tak lupa pula, ia banyak berpesan untuk para peserta seminar yang terdiri dari berbagai lapisan wanita, hehe. Ada yang sudah menikah dan punya anak, ada yang sudah menikah saja, dan ada juga yang belum menikah (seperti saya dan dua teman saya).

Di awal penyampaian, beliau menyampaikan, ada satu hal yang harus kita sadari dalam proses tumbuh kembang anak, yaitu, bahwa ketika anak membutuhkan kita, itu merupakan berkah yang harus kita syukuri! Hei, anak kita membutuhkan kita loh J daripada dicuekin, gak di-waro, hayoo.
Berkaitan dengan hal tersebut, beliau mengingatkan, bahwa tujuh tahun pertama dalam hidup sang anak, THEY ONLY HAVE US. Mereka hanya punya kita, so, berikan semaksimal mungkin yang kita bisa. Jadilah yang ‘selalu ada’ buat mereka. Walaupun, saat ‘melayani’nya, mungkin anak-anak kita memiliki beragam karakter, hindari menjadikan hal tersebut sebagai stress-maker. Justru jadikanlah hal tersebut sebagai pembelajaran buat kita, yang spesial dikasih sama Allah yang Maha Penyayang.

Pada usia-usia dini, tanamkan nilai-nilai benar dan salah, karena nilai-nilai yang kita tanamkan pada anak dalam usia golden age akan membekas kuat di alam bawah sadarnya. Pendapat Ibu  Yanti ini benar, bila kemudian kita sandingkan dengan teori ilmu NLP (Neuro Linguistic Programming) yang pernah saya dapatkan, di mana pada usia golden age itulah, saat-saat dimana ‘pintu gerbang’ atau sekat antara pikiran bawah sadar dan pikiran sadar manusia masih terbuka lebar atau ibaratnya masih lentur, belum kaku/rigid, sehingga apa-apa yang kita masukkan ke pikiran anak, akan tertanam kuat di pikiran bawah sadarnya. Ingat loh, pikiran bawah sadar berpengaruh 80% pada setiap tindakan yang kita lakukan di kemudian hari. Lain halnya, bila nilai-nilai tersebut baru kita berikan di saat anak sudah menginjak usia remaja, di mana pintu gerbang tersebut sudah tertutup atau sudah rigid. Hasilnya, si anak akan cenderung lebih mudah untuk mengkritisi atau menolak nilai baru tersebut. Naah, maka dari itu, penanaman nilai-nilai Agama including Akidah dan hafalan Qur’an yang sangat penting, amat sangat oke, bila kita tanamkan sejak usia dini ini! J

Sejak periode emas ini juga, beri ia kesempatan bereksplorasi untuk mengembangkan potensinya. Fasilitasi kemauan mereka, baik dia yang terbuka maupun tertutup (extrovert ataupun introvert). Nah, untuk dia yang introvert, karena sulit mengetahui kemauannya, maka dengarkanlah suara-suara kecilnya. HINDARI MENYEPELEKAN setiap suara kecil tersebut.

Tentunya, jangan pernah lupa, bahwa selama berjuang menumbuh kembangkan anak ini, kita harus: SABAR! Hindari mengeluh. Karena apa? Ingatlah Allah Maha Tahu looh, and Allah always listens to our COMPLAINS! Emangnya mau, gara-gara  kita ngeluh tentang anak kita, Allah malah ngambil balik anak kita..? Ya soalnya kita udah ngeluh, udah capek gitu ceritanya ngurusin si anak. Mau gak??.. Gak ya, sepertinya J.

Nah, berkaitan dengan itu, dalam hal pembelajaran si anak, ketika kita ingin memberi tahu yang benar pada mereka, hindari TERLALU BANYAK menggunakan verbal (kata-kata). Pada dasarnya, memang kita dihimbau untuk menghindar dari terlalu banyak melarang, karena dampaknya anak kita bisa gak berani ngapa-ngapain di masa depan (ini bener banget loh). Biar dia mencoba, bilapun salah, biarkan dia merasakan sendiri akibat dari apa yang dia buat, maka ia bisa belajar dari sana (kecuali kalau sesuatu yang ingin dicobanya itu, bisa mengakibatkan kanker atau meninggal, misalkan, hehehe, ini mah ya dilarang aja atuh). Cara lain yang bisa digunakan untuk memberitahu yang benar kepada anak adalah dengan memberi contoh (tindakan). Bisa kita sebut juga dengan memberi teladan yang baik, like Rasulullaah SAW did J. Talk less, do more.

Selain usaha pribadi kita untuk mengembangkan diri anak kita, tentunya pengaruh lingkungan luar juga amat besar dong. Yup, pergaulan! Pergaulan menjadi salah satu hal yang seringkali kita takuti akan membawa dampak buruk bagi perkembangan anak kita. Maka dari itu, mengenai pengawasan dari pergaulan dunia luar yang amat bahaya ini, Ibu Yanti pun turut memberi saran. Menurut Ibu yang punya hobi mendaki ini, kita bisa ciptakan dua kontrol, yaitu kontrol dari dalam diri sendiri dan kontrol pergaulan sosial. Contoh dari kontrol dari dalam adalah kita sendiri yang buat acara untuk mengembangkan potensi si anak, namun tetap memungkinkan si anak untuk memperluas lingkup pergaulannya. Contoh, untuk menciptakan kontrol dari dalam diri sendiri bagi anak ketiganya, Ibu Yanti pernah mengadakan semacam konser musik untuk anak ketiga dan teman-teman yang berminat pula di bidang musik. Nah, dari sini, kita bisa merancang sendiri teman-teman seperti apa yang bisa ikut di acara ini, misal yang memang anak dan orangtuanya baik saja. Sedangkan, contoh dari kontrol pergaulan sosialnya, ya dengan mengikutsertakan anak dalam organisasi, seminar yang dapat mengembangkan potensinya, namun tetap juga kita pilih yang memiliki pengaruh pergaulan yang positif.

Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan potensi anak, adalah pemberian motivasi. Motivasilah ia agar ia menghindari negative thinking dalam mengembangkan potensinya (BEGITUPUN DENGAN KITA yang mengembangkannya). Perlu juga kita beri motivasi, bahwa apa yang dilakukan oleh sang anak ituu, bisa bermanfaat buat orang lain loh, plus menjadi bekal untuk kehidupannya yang kekal di akhirat nanti.

Wah, ternyata penting dan krusial banget ya mendidik anak itu? Yup, pastinya. Tentunya, dalam mendidik dan mengembangkan anak kita, kitanya juga harus terdidik dengan baik dong. Gimana caranya? Yang pertama, so pasti, PERBAIKI DIRI terlebih dahulu dan secara terus menerus. Ini penting sekali terkait peranan kita sebagai teladan bagi anak kita J. Terus dan teruslah meng-upgrade diri dalam mendidik anak. Jadikanlah diri kita sebagai guru, teladan, dan tempat anak mencurahkan isi hatinya (setelah Allah dan, di jalan Allah tentunya). Berhati-hatilah, bila anak merasa tidak didengar di rumah (terutama oleh kita sebagai “madrasah pertama” mereka), maka ia akan mencari penggantinya di luar. Dan bila lingkungan di dunia luar itu menerima dan mau mendengarnya, maka ia akan terbuka dengan mereka yang ada di lingkungan itu, bukan sama kita, Ibunya. Masih baik bila lingkungan di luar itu adalah lingkungan yang baik, agamis, dan sejenisnya. Tapi bagaimana bila lingkungan tersebut adalah lingkungan yang buruk? J Na’udzubillaah.

Ketika sesi tanya jawab berlangsung, ada pula peserta seminar yang bertanya, bagaimana cara ketiga ibu ini dalam mengatasi kejenuhan bila tiba-tiba ia datang tanpa diundang? Wah benar juga ya?..

Nah, ternyata, aktifitas yang dipilih ibu Yanti untuk mengatasinya adalah belajar materi ajar yang beragam! Apalagi ibu Yanti adalah seorang homeschooler! Jadi, apa yang anak kita lakukan, bisa kita lakukan juga J. Kan lebih enak nanti dalam berkomunikasi dengan anak.

Alhamdulillaah, banyak sekali ya ilmu yang bisa kita dapatkan dari Ibu Yanti ini J. Yuk, silahkan diproses di dalam otak, dikaji bareng-bareng, lalu ambil dan aplikasikan nilai-nilai baiknya.
Nah, terakhir nih, pesan Ibu Yanti buat kita semua adalah, 1) Persiapkan pemahaman, pengetahuan dan skill untuk menjadi Ibu Rumah Tangga sejak kuliah! ;) à terutama buat yang belum nikah. Pesan ke..2), yang gak kalah pentingnya adalah, bahwa dalam membersamai anak nantinya, yang terpenting adalah Fokus, Ikhlas, dan banyak bersyukur J. Mungkin, kita bisa ganti-ganti urutannya, seperti menjadi >> Ikhlas, banyak bersyukur, dan fokus ;). Daan, yang ke..3) Dalam mencari suami, cari yang memiliki pandangan terbuka dalam artian, ia mau memahami kita. Saat perkenalan, jabarkan rencana atau mimpi-mimpi kita. Sehingga ke depannya, mudah-mudahan lebih mudah bagi kita bila punya kemauan-kemauan tertentu. Buat yang sudah menikah, selalu ingat ya, bahwa ridho suami adalah jalan kita. Kalau memang punya kemauan-yang di awal belum tersampaikan-, komunikasikan dengan beliau J.
Berikut ini adalah foto-foto slide beliau, semoga bermanfaat buat pembelajaran ya..:












***
Sip, segitu dulu nih, sharing dari seminar parenting sesi 1, dari Ibu Yanti, yang berkarya untuk masyarakat dari RUMAH. Untuk sharing dari dua pembicara lainnya (Ibu Nurhayati, CEO Wardah, dan Ibu Feny, dosen dan peneliti), in syaa Allah segera hadir di postingan berikutnya.

Ibu Yanti bisa, kita? In syaa Allah lebih bisa dong ya ;). Dan harus lebih baik! Bukan berarti dengan di rumah saja, kita tak menciptakan apa-apa untuk kemaslahatan dunia. Ingatlah, sejatinya kita diciptakan dunia ini, bukan sebagai sampah, bukan hanya sebagai onggokan daging dan tulang belaka. Ada misi yang kita emban sebagai makhluk terbaik yang Ia ciptakan, yaitu: memakmurkan bumi. Dengan cara apa? Ya kamu sendiri yang paling tahu. Maka dari itu, yuks, kenali diri kita, passion, kekuatan dan potensi kita, SERTA SINYAL-SINYAL DARI-NYA. Seperti Ibu Yanti, yang berhasil menangkap sinyal-Nya, dan kemudian menyadari bahwa posisinya dalam memakmurkan bumi adalah dengan menjadi seorang Ibu (kalau buat perempuan, ini sudah pasti ya, dear J), serta homeschooler serba bisa bagi anak-anaknya sendiri; merancang, membangun, dan mengembangkan anak-anaknya menjadi seorang pemimpin yang bermanfaat bagi seluruh alam. Demi terciptanya, sebuah peradaban mulia di masa mendatang J. Aamiin.

Karena, Ibu..., engkaulah “sang arsitek peradaban” :”)
Hey Dear, do you proud of that "title"? you should be ;).

Terakhir banget, di samping ini ada foto cara mendidik anak berdasarkan sunnah Rasul :). Yuk coba disimak. Apakah nilai-nilai positif dan baik yang bisa kita ambil sudah sesuai dengan sunnahnya? Semoga tidak terlambat untuk memperbaiki apa-apa yang sudah masuk ke otak kita ya..


Wallahu a'lam. Yang benar dari Allah, yang salah dari saya. 
Wassalaamu’alaykum Wr. Wb.

Bandung, 5 Januari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar