Bismillaah...
Assalaamu'alaykum.
Alhamdulillaah,
tepat tanggal 28 Desember tahun lalu, saya bersama dua orang teman saya dari Universitas
Padjajaran (UNPAD) dan Institut Manajemen Telkom (IM TELKOM; eh katanya udah
ganti jadi universitas ya?) berkesempatan untuk mengikuti seminar parenting “Ibuku
lulusan ITB” yang diselenggarakan oleh komunitas ITB motherhood (sebuah
komunitas yang didirikan oleh ibu-ibu muda lulusan ITB agar mereka bisa tetap
saling menjaga silaturahim serta berbagi ilmu terkait pendidikan anak dan
keluarga; sebagaimana peran para wanita sendiri sebagai ibu dan pengelola rumah
tangga).
Moderator (berdiri), Ibu Yanti (kursi paling kiri), Ibu Nurhayati (tengah), Ibu Feny (kursi paling kanan). |
Sebenarnya
apa sih yang menarik dari seminar ini?
Bila kita
dengar judul seminarnya untuk pertama kali, mungkin kita akan merasa, 1) “waaaw,
kereeen, ibu lulusan itb, hmm iya, kalau gue jadi ibu nanti, mau ngapain ya
gue?”. Ini mungkin kata mahasiswi-mahasiswi ITB. 2) “Waah, mantap, ajang cari
ilmu lebih dan silaturahim sama teman-teman lama, nih..”. Ini kata yang udah
jadi ibu lulusan ITB, hehe. 3) “ih, apaan sih, ITB narsis banget.. so what gitu kalau lulusan ITB?”. Hmm, ini,
kata siapapun yang sependapat dengan kalimatnya hehe. Seakan-akan, ada sesuatu
yang ‘wah’ kalau anak kita punya ibu lulusan ITB. Naah, padahal mah, menurut salah satu pembicaranya
(yang juga masih lulusan ITB), “Hey, IT
DOES NOT MATTER, mau lulusan ITB, lulusan SMP, lulusan mana pun juga, SAMA
AJA. Gak ada bedanya, KECUALI, kita mau untuk terus belajar cara pengasuhan dan
pendidikan anak yang baik. ITU SAJA. THAT’S
ALL, wahai para ibu dan calon ibu.”
(and I AGREE with this statement,(Y)).
Tambahnya lagi, paling-paling kalau ibunya lulusan ITB, jatuhnya jadi
perfeksionis, terus bilang ke anaknya, “ya ampuun, gitu aja kok gak bisa,
siiihh?” (walaupun tidak semuanya seperti ini, tapi buat yang merasa ITB,
DILATIH yuk dear, jangan sampai jadinya
kayak gini kalau ke anak J).
Yang menarik
(kalau buat saya) dari acara ini adalah, kata-kata “motherhood”, “ibu”, “parenting”, serta tema sesi 1: “ibu alumni ITB berkarya
untuk masyarakat, melalui rumah, karir, atau bisnis”. Dari situ muncul
keingintahuan yang besar buat belajar banyak hal dari para pembicara, terkait
masa depan saya (dan para wanita muda lainnya) dalam menjadi seorang istri dan
ibu. Untuk yang di rumah, mau tahu seperti apa sih, sang Ibu ini mengurus
anak-anak dan mengelola rumah tangganya. Untuk yang berkarir dan bisnis, ingin
tahu juga, bagaimana anak-anak mereka ketika mereka tinggal (pasti ya) untuk
berkarir dan berbisnis itu? Plus-plus, Alhamdulillaah, bisa dapat ilmu tambahan juga mengenai
ilmu parenting dan gizi keluarga dari para pakarnya, di sesi 2 seminar kali ini.
Here are the amazing speakers: Ibu Yanti
(Alumni Planologi, mantan Ketua Unit Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA), homeschooler), Ibu Nurhayati (Alumni
Farmasi, CEO Wardah Cosmetic), Ibu Feny (Alumni Biologi, dosen dan peneliti di
Biologi ITB, PhD dari Australia). Sesi dua: Ibu Rani Razak (Alumni Teknik
Industri, Parenting Trainer), Ibu ........
(maaf lupa; Alumni Planologi, pemerhati gizi keluarga).
OKE, di
tulisan kali ini, saya ingin berbagi dengan teman-teman sekalian tentang
hal-hal yang berkaitan dengan empat hal bercetak miring dan tebal (italic
dan bold) di dua paragraf sebelumnya
. Dimulai dari isi seminar sesi 1 bersama sang pembicara pertama, Ibu Yanti! But, please note, tidak semua informasi
yang masuk dari seminar ini langsung kita terima mentah-mentah. Teman-teman
pastinya sudah bisa memilah-milah, mana yang baik, mana yang harus diambil,
mana yang cukup diambil pelajarannya saja J.
Bila datang ke sini atau membaca ini bersama teman, mangga juga didiskusikan.
Uhmm, and, Well, it’s not about the name of university
they went to, AGREE? ;)
J
Happy learning, guys!
è
Berkarya untuk
masyarakat melalui RUMAH.
Ibu Yanti, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, di masa kuliahnya
merupakan seorang mahasiswi aktifis di kampus. Bisa kita lihat dari prestasinya
menjadi ketua unit Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA). And, well, SHE is a GIRL! You can she how ‘macho’ is she, hihi. Ibu
lulusan tahun 1989 ini mengaku dulu sama sekali TIDAK TERPIKIRKAN persiapan
untuk menjadi seorang istri dan Ibu dengan segala kewajibannya. Yang
terpikirkan adalah rencana-rencana serta mimpi-mimpi berkarir hingga tingkat
tertinggi.
Ketika menikah, beliau tetap bekerja meniti karir di kantor. Hingga ia
dikaruniai anak-anak yang ‘luar biasa’, memiliki jam tidur yang sedikit serta
pola pikir jauh di atas anak-anak seusianya. Akhirnya, tahun 1990, Ibu Yanti
memutuskan untuk berhenti bekerja, dan fokus mengurus anak-anaknya di rumah. Ia
yakin, karunia tiga orang anak yang ketiga-tiganya ‘luar biasa’ ini adalah ‘sinyal’
dari Allah, bahwa memang ia HARUS fokus di rumah, mengurus, membesarkan, dan
mendidik anak-anaknya secara langsung. Pun ketika anaknya meminta untuk
bersekolah di rumah, alias homeschooling,
ibu Yanti mengiyakannya. Justru kesempatan ini ia jadikan sebagai tempat untuk
mengembangkan dirinya baik dari segi ilmu, ataupun skill. Belajar mengembangkan diri menjadi kamus berjalan bagi
anak-anaknya yang ‘luar biasa’.
Tak dipungkiri, yang namanya iri pasti muncul. Iri ketika berkumpul
dengan teman-teman sesama alumni ITB yang memiliki karir melesat di kantornya,
bahkan iri dengan sang suami yang satu angkatan dengannya. Ibu Yanti sempat
berpikir, kita sama-sama satu angkatan, tapi kok dia punya kesempatan berkarir
setinggi itu, sedangkan saya tidak. Kenapa saya harus di rumah saja? Mengurus
segala hal ‘kecil’ seperti beres-beres rumah, dkk. Apa bedanya dengan ibu-ibu
yang lain...? Namun kemudian, beliau memutuskan untuk menikmati hari-harinya
bersama sang buah hati. Dengan terus melatih kesabaran, keikhlasan serta rasa
bersyukur, ia temani anak-anaknya tumbuh dan berkembang, hingga ketiga anaknya ‘berhasil’
di minatnya masing-masing. Anak pertamanya, yang memiliki minat besar dengan
batu-batuan, kini sudah bisa menjadi seorang pembicara di beberapa acara
mengenai batuan (semacam geologi dkk) dalam usianya yang masih tergolong muda.
Anak keduanya, yang mempunyai minat besar di dunia matematika, sudah mampu
memecahkan soal-soal integral dalam usia 8 tahun (ckckck jadi ingat kalkulus).
Anak ketiganya, yang berminat di bidang musik, sudah mampu bermain piano (atau
keyboard ya, saya lupa) dengan lihai serta aktif mengikuti kompetisi ataupun
konser-konser musik. Berangkat dari semua itu, secara perlahan, rasa
kecemburuan terhadap karir teman-teman dan suaminya terkikis. Ia kini BANGGA
dengan profesinya sebagai Ibu rumah tangga sekaligus homeschooler.
Dalam seminar kali ini, beliau banyak berbagi tentang bagaimana ia
menumbuh kembangkan anak-anak ‘luar biasa’-nya. Tak lupa pula, ia banyak
berpesan untuk para peserta seminar yang terdiri dari berbagai lapisan wanita,
hehe. Ada yang sudah menikah dan punya anak, ada yang sudah menikah saja, dan
ada juga yang belum menikah (seperti saya dan dua teman saya).
Di awal penyampaian, beliau menyampaikan, ada satu hal yang harus kita
sadari dalam proses tumbuh kembang anak, yaitu, bahwa ketika anak membutuhkan
kita, itu merupakan berkah yang harus kita syukuri! Hei, anak kita membutuhkan
kita loh J
daripada dicuekin, gak di-waro, hayoo.
Berkaitan dengan hal tersebut, beliau mengingatkan, bahwa tujuh tahun
pertama dalam hidup sang anak, THEY ONLY
HAVE US. Mereka hanya punya kita, so, berikan semaksimal mungkin yang kita
bisa. Jadilah yang ‘selalu ada’ buat mereka. Walaupun, saat ‘melayani’nya, mungkin
anak-anak kita memiliki beragam karakter, hindari menjadikan hal tersebut
sebagai stress-maker. Justru jadikanlah
hal tersebut sebagai pembelajaran buat kita, yang spesial dikasih sama Allah
yang Maha Penyayang.
Pada usia-usia dini, tanamkan nilai-nilai benar dan salah, karena nilai-nilai
yang kita tanamkan pada anak dalam usia golden
age akan membekas kuat di alam bawah sadarnya. Pendapat Ibu Yanti ini benar, bila kemudian kita
sandingkan dengan teori ilmu NLP (Neuro Linguistic Programming) yang pernah
saya dapatkan, di mana pada usia golden
age itulah, saat-saat dimana ‘pintu gerbang’ atau sekat antara pikiran
bawah sadar dan pikiran sadar manusia masih terbuka lebar atau ibaratnya masih
lentur, belum kaku/rigid, sehingga apa-apa yang kita masukkan ke pikiran anak,
akan tertanam kuat di pikiran bawah sadarnya. Ingat loh, pikiran bawah sadar
berpengaruh 80% pada setiap tindakan yang kita lakukan di kemudian hari. Lain
halnya, bila nilai-nilai tersebut baru kita berikan di saat anak sudah
menginjak usia remaja, di mana pintu gerbang tersebut sudah tertutup atau sudah
rigid. Hasilnya, si anak akan cenderung lebih mudah untuk mengkritisi atau menolak
nilai baru tersebut. Naah, maka dari itu, penanaman nilai-nilai Agama including Akidah dan hafalan Qur’an yang
sangat penting, amat sangat oke, bila kita tanamkan sejak usia dini ini! J
Sejak periode emas ini juga, beri ia kesempatan bereksplorasi untuk
mengembangkan potensinya. Fasilitasi kemauan mereka, baik dia yang terbuka
maupun tertutup (extrovert ataupun introvert). Nah, untuk dia yang introvert, karena sulit mengetahui
kemauannya, maka dengarkanlah suara-suara kecilnya. HINDARI MENYEPELEKAN setiap
suara kecil tersebut.
Tentunya, jangan pernah lupa, bahwa selama berjuang menumbuh kembangkan
anak ini, kita harus: SABAR! Hindari mengeluh. Karena apa? Ingatlah Allah Maha
Tahu looh, and Allah always listens to
our COMPLAINS! Emangnya mau, gara-gara
kita ngeluh tentang anak kita, Allah malah ngambil balik anak kita..? Ya
soalnya kita udah ngeluh, udah capek gitu ceritanya ngurusin si anak. Mau gak??..
Gak ya, sepertinya J.
Nah, berkaitan dengan itu, dalam hal pembelajaran si anak, ketika kita ingin
memberi tahu yang benar pada mereka, hindari TERLALU BANYAK menggunakan verbal
(kata-kata). Pada dasarnya, memang kita dihimbau untuk menghindar dari terlalu
banyak melarang, karena dampaknya anak kita bisa gak berani ngapa-ngapain di
masa depan (ini bener banget loh). Biar dia mencoba, bilapun salah, biarkan dia
merasakan sendiri akibat dari apa yang dia buat, maka ia bisa belajar dari sana
(kecuali kalau sesuatu yang ingin dicobanya itu, bisa mengakibatkan kanker atau
meninggal, misalkan, hehehe, ini mah ya dilarang aja atuh). Cara lain yang bisa
digunakan untuk memberitahu yang benar kepada anak adalah dengan memberi contoh
(tindakan). Bisa kita sebut juga dengan memberi teladan yang baik, like Rasulullaah SAW did J.
Talk less, do more.
Selain usaha pribadi kita untuk mengembangkan diri anak kita, tentunya
pengaruh lingkungan luar juga amat besar dong. Yup, pergaulan! Pergaulan
menjadi salah satu hal yang seringkali kita takuti akan membawa dampak buruk
bagi perkembangan anak kita. Maka dari itu, mengenai pengawasan dari pergaulan dunia
luar yang amat bahaya ini, Ibu Yanti pun turut memberi saran. Menurut Ibu yang
punya hobi mendaki ini, kita bisa ciptakan dua kontrol, yaitu kontrol dari
dalam diri sendiri dan kontrol pergaulan sosial. Contoh dari kontrol dari dalam
adalah kita sendiri yang buat acara untuk mengembangkan potensi si anak, namun
tetap memungkinkan si anak untuk memperluas lingkup pergaulannya. Contoh, untuk
menciptakan kontrol dari dalam diri sendiri bagi anak ketiganya, Ibu Yanti
pernah mengadakan semacam konser musik untuk anak ketiga dan teman-teman yang
berminat pula di bidang musik. Nah, dari sini, kita bisa merancang sendiri
teman-teman seperti apa yang bisa ikut di acara ini, misal yang memang anak dan
orangtuanya baik saja. Sedangkan, contoh dari kontrol pergaulan sosialnya, ya
dengan mengikutsertakan anak dalam organisasi, seminar yang dapat mengembangkan
potensinya, namun tetap juga kita pilih yang memiliki pengaruh pergaulan yang
positif.
Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan potensi
anak, adalah pemberian motivasi. Motivasilah ia agar ia menghindari negative thinking dalam mengembangkan
potensinya (BEGITUPUN DENGAN KITA yang mengembangkannya). Perlu juga kita beri
motivasi, bahwa apa yang dilakukan oleh sang anak ituu, bisa bermanfaat buat
orang lain loh, plus menjadi bekal untuk kehidupannya yang kekal di akhirat
nanti.
Wah, ternyata penting dan krusial banget ya mendidik anak itu? Yup,
pastinya. Tentunya, dalam mendidik dan mengembangkan anak kita, kitanya juga
harus terdidik dengan baik dong. Gimana caranya? Yang pertama, so pasti,
PERBAIKI DIRI terlebih dahulu dan secara terus menerus. Ini penting sekali
terkait peranan kita sebagai teladan bagi anak kita J. Terus dan teruslah meng-upgrade diri dalam mendidik anak.
Jadikanlah diri kita sebagai guru, teladan, dan tempat anak mencurahkan isi
hatinya (setelah Allah dan, di jalan Allah tentunya). Berhati-hatilah, bila
anak merasa tidak didengar di rumah (terutama oleh kita sebagai “madrasah
pertama” mereka), maka ia akan mencari penggantinya di luar. Dan bila
lingkungan di dunia luar itu menerima dan mau mendengarnya, maka ia akan
terbuka dengan mereka yang ada di lingkungan itu, bukan sama kita, Ibunya.
Masih baik bila lingkungan di luar itu adalah lingkungan yang baik, agamis, dan
sejenisnya. Tapi bagaimana bila lingkungan tersebut adalah lingkungan yang
buruk? J Na’udzubillaah.
Ketika sesi tanya jawab berlangsung, ada pula peserta seminar yang
bertanya, bagaimana cara ketiga ibu ini dalam mengatasi kejenuhan bila
tiba-tiba ia datang tanpa diundang? Wah benar juga ya?..
Nah, ternyata, aktifitas yang dipilih ibu Yanti untuk
mengatasinya adalah belajar materi ajar yang beragam! Apalagi ibu Yanti adalah
seorang homeschooler! Jadi, apa yang
anak kita lakukan, bisa kita lakukan juga J.
Kan lebih enak nanti dalam berkomunikasi dengan anak.
Alhamdulillaah, banyak sekali
ya ilmu yang bisa kita dapatkan dari Ibu Yanti ini J. Yuk, silahkan diproses di
dalam otak, dikaji bareng-bareng, lalu ambil dan aplikasikan nilai-nilai
baiknya.
Nah, terakhir nih, pesan Ibu Yanti buat kita semua adalah, 1) Persiapkan pemahaman, pengetahuan
dan skill untuk menjadi Ibu Rumah
Tangga sejak kuliah! ;) à
terutama buat yang belum nikah. Pesan ke..2),
yang gak kalah pentingnya adalah, bahwa dalam membersamai anak nantinya, yang
terpenting adalah Fokus, Ikhlas, dan
banyak bersyukur J.
Mungkin, kita bisa ganti-ganti urutannya, seperti menjadi >> Ikhlas, banyak bersyukur, dan fokus ;). Daan, yang ke..3) Dalam mencari suami, cari yang memiliki pandangan terbuka dalam
artian, ia mau memahami kita. Saat perkenalan, jabarkan rencana atau mimpi-mimpi
kita. Sehingga ke depannya, mudah-mudahan lebih mudah bagi kita bila punya
kemauan-kemauan tertentu. Buat yang sudah menikah, selalu ingat ya, bahwa ridho
suami adalah jalan kita. Kalau memang punya kemauan-yang di awal belum
tersampaikan-, komunikasikan dengan beliau J.
Berikut ini adalah foto-foto slide beliau, semoga bermanfaat buat pembelajaran ya..:
Berikut ini adalah foto-foto slide beliau, semoga bermanfaat buat pembelajaran ya..:
***
Sip, segitu dulu nih, sharing
dari seminar parenting sesi 1, dari Ibu Yanti, yang berkarya untuk masyarakat
dari RUMAH. Untuk sharing dari dua pembicara lainnya (Ibu Nurhayati, CEO
Wardah, dan Ibu Feny, dosen dan peneliti), in syaa Allah segera hadir di
postingan berikutnya.
Ibu Yanti bisa, kita? In syaa Allah lebih bisa dong ya ;). Dan harus
lebih baik! Bukan berarti dengan di rumah saja, kita tak menciptakan apa-apa
untuk kemaslahatan dunia. Ingatlah, sejatinya kita diciptakan dunia ini, bukan
sebagai sampah, bukan hanya sebagai onggokan daging dan tulang belaka. Ada misi
yang kita emban sebagai makhluk terbaik yang Ia ciptakan, yaitu: memakmurkan
bumi. Dengan cara apa? Ya kamu sendiri yang paling tahu. Maka dari itu, yuks,
kenali diri kita, passion, kekuatan
dan potensi kita, SERTA SINYAL-SINYAL DARI-NYA. Seperti Ibu Yanti, yang
berhasil menangkap sinyal-Nya, dan kemudian menyadari bahwa posisinya dalam
memakmurkan bumi adalah dengan menjadi seorang Ibu (kalau buat perempuan, ini
sudah pasti ya, dear J), serta homeschooler serba bisa bagi
anak-anaknya sendiri; merancang, membangun, dan mengembangkan anak-anaknya
menjadi seorang pemimpin yang bermanfaat bagi seluruh alam. Demi terciptanya,
sebuah peradaban mulia di masa mendatang J.
Aamiin.
Karena, Ibu..., engkaulah “sang
arsitek peradaban” :”)
Hey Dear, do you proud of that
"title"? you should be ;).
Terakhir banget, di samping ini ada foto cara mendidik anak berdasarkan sunnah Rasul :). Yuk coba disimak. Apakah nilai-nilai positif dan baik yang bisa kita ambil sudah sesuai dengan sunnahnya? Semoga tidak terlambat untuk memperbaiki apa-apa yang sudah masuk ke otak kita ya..
Wallahu a'lam. Yang benar dari Allah, yang salah dari saya.
Wassalaamu’alaykum
Wr. Wb.
Bandung, 5 Januari 2014.