Assalaamu'alaykum, sahabat. Bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat lahir dan batin ya, Aamiin. :)
Sebelum saya mengulas empat perhiasan yang ada di judul ini (berasa mau jualan hehe), izinkan saya untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Adha" kepada sahabat-sahabat Muslim dan Muslimah di seluruh dunia :)
Semoga bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji, hajinya mabrur, yang belum, segera dimampukan (termasuk penulis), Aamiin. Dan tentunya semoga amal kurban kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin..
Sekarang, izinkan saya berbagi sebuah kisah. Hmm... kisah ini cukup panjang. Tapi mudah-mudahan bisa menjadi masukan positif bagi kita semua. Sip, let's check it out. Semoga bermanfaat!
***
Sejujurnya, kisah ini diangkat dari kisah nyata, dengan perubahan latar dan sedikit tokoh :) hehe. Jika ada kesamaan nama dan tempat, sesungguhnya itu bukan kebetulan, pasti ada sinyal-sinyal-Nya yang harus kita terjemahkan ;) Selamat memetik hikmah dari setiap kejadian di sekitarmu.
Wallahu a'lam :)
Wassalaamu'alaykum.
Sebelum saya mengulas empat perhiasan yang ada di judul ini (berasa mau jualan hehe), izinkan saya untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Adha" kepada sahabat-sahabat Muslim dan Muslimah di seluruh dunia :)
Semoga bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji, hajinya mabrur, yang belum, segera dimampukan (termasuk penulis), Aamiin. Dan tentunya semoga amal kurban kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin..
Sekarang, izinkan saya berbagi sebuah kisah. Hmm... kisah ini cukup panjang. Tapi mudah-mudahan bisa menjadi masukan positif bagi kita semua. Sip, let's check it out. Semoga bermanfaat!
Kisah Emas, Intan, Permata dan
Berlian
Oleh:
Aliya Nur Zahira
Hai,
namaku Emas. Ini sebuah kisah tentang diriku. Sebuah kisah sederhana tentang
bagaimana persepsi membentuk diri kita. Kau mau kan menyimak kisahku ini?
Dua bulan belakangan itu, aku merasa
sedang tidak bersemangat. Hari-hari aku lalui dengan penuh kecemasan,
kebingungan, kesedihan, dan semua terasa lebih melelahkan dari biasanya. Entah
karena kesibukan aktifitasku yang semakin padat atau memang karena motivasiku
sedang turun. Ya, kesibukan akademik sebagai siswa kelas dua yang baru masuk
penjurusan, tentu berbeda dengan kondisi saat aku masih kelas satu dulu. Di
mana rasanya sekolah adalah arena bermain kami. Belum lagi dengan posisi siswa
kelas dua yang memegang kepengurusan inti baik di OSIS, ekstrakurikuler,
ataupun kepanitiaan acara sekolah.
Aku
pun khawatir sikapku belakangan ini malah berdampak buruk bagi sahabat-sahabat
di sekitarku. Lantas suatu hari, aku memutuskan untuk bertanya pada salah
seorang sahabatku, sebut saja namanya Intan. Ke mana ada Intan, biasanya di
sana ada aku.
“Tan, aku mau tanya. Tapi jujur,
ya..” sergapku begitu Intan menyelesaikan suapan sarapan terakhirnya. Kantin
sekolah pagi itu cukup ramai. Sepertinya, banyak siswa yang belum sempat
sarapan di rumah seperti aku dan Intan.
“Iya, tanya apa?” ujarnya sambil
tersenyum tulus sambil menampakkan wajah keheranan karena seorang aku memang
tidak biasa bertanya dengan gaya seperti itu, hehe.
“Kamu ngerasa ada yang beda gak dari
diri aku sekarang?”
“Hmm, menurut aku, kamu tuh sekarang
bedaaa. Aku lebih senang lihat kamu yang sekarang daripada yang dulu. Kamu yang
sekarang lebih peduli. Kalau dulu tuh ya, aku pas pertama ketemu kamu, langsung
kaget lah. Ini anak apa sih? Masak
pinjam dua double tape aku dan
dua-duanya di-ilangin?? Terus dulu
kamu orangnya keliatan ngejar tugas banget. Gak terlalu peduli sama orang di
sekitar kamu atau pun orang yang kerja bareng kamu. Yaa.. emang sih tipe kayak
gitu bakal bagus kalau di dunia kerja, kerjaannya beres dan hasilnya bagus.
Tapi tetap saja, aku lebih suka kamu yang sekarang..”
Aku terhenyak mendengar jawabannya.
Benakku terdiam. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya ‘Oh’ yang bisa aku
keluarkan dari mulutku. Sebenarnya aku sedikit ‘kecewa’ karena jawabannya di
luar harapanku.
***
Ini kali keduanya aku menanyakan hal
yang sama pada sahabatku yang lain, sebut saja namanya Permata.
Siang
itu, Permata yang ceria duduk sendiri di depan kantin. Sepertinya ia sedang
menunggu seorang temannya. Tanpa pikir panjang, aku yang sedang luang langsung
menawarkan diri untuk menemaninya. Obrolan akrab pun terjalin. Cerita-cerita
Permata yang mengundang tawa, selalu berhasil menghipnotis perhatianku. Hampir
saja aku dibuat lupa akan pertanyaan utamaku. Lantas, begitu tawanya reda,
kulontarkan saja pertanyaan itu. Dan inilah jawabannya.
“Aku tuh lebih seneng ngeliat kamu
yang sekaraang.. Kamu tuh sekarang lebih kelihatan bahagia daripada waktu dulu,
pas jaman kelas satu itu loh.. Ya ampuun, kalau ngeliat kamu tuh kayaknya kebanyakan
murungnya, muka susah deh, hehe. Pokoknya kamu bagus kayak gini. Emas tetap
kayak gini ya..!” jawabnya bersemangat dengan penuh senyuman.
Lagi-lagi aku terhenyak dan kaget.
Kembali aku mendapatkan jawaban di luar harapanku. Aku hanya bisa membalas
senyuman cerianya dengan senyuman palsu.
***
Kali ketiga aku menanyakan hal yang
sama. Sore itu langit begitu cerah. Sahabatku kali ini boleh kalian sebut,
Berlian. Sahabat yang sejak kelas satu dulu selalu berada dalam satu
kepanitiaan denganku. Entah itu acara OSIS, ekstrakurikuler, ataupun acara
tahunan sekolah. Aku tak tahu mengapa itu terjadi, tapi aku yakin itu bukan
kebetulan. Maka, aku selalu yakin, ada sesuatu yang istimewa dari keberadaan
Berlian di sampingku. Dan ketika aku menanyakannya, ia hanya menjawab singkat sambil
tersenyum-senyum. “Ooh.. Hmm, Emas itu sekarang kayaknya lebih.. Ceriaaa!
Seneng aja ngeliatnya. Hihihi..”
Aku
menghela napas. Begitu ya, Ber..?
***
Sore
itu hujan deras di Masjid Raya samping sekolah. Aku pun memutuskan untuk
menunaikan sholat Maghrib dahulu sebelum pulang. Ketika itu aku bertemu kembali
dengan Berlian.
Sejak melihatnya, aku sudah
memutuskan untuk mengobrol dengannya. Aku ingin membahas perihal pertanyaan
yang aku ajukan tempo hari. Namun, ada satu kejadian konyol yang mengawali
momen itu.
Seusai sholat, seperti biasa kami
kembali ke sekretariat ekstrakurikuler kerohanian kami, yang lokasinya tepat di
samping Masjid. Kami hanya mengambil tas dan barang bawaan lainnya lalu langsung
bergegas pulang. Namun langkahku terhenti di depan sekretariat begitu menyadari
ada sesuatu yang berbeda di kakiku.
“Sebentar, Ber.. Kayaknya ada yang
beda..”
“Apa?” tanyanya kebingungan.
Aku pun menaruh curiga pada sepatu
sandal yang aku pakai. Kok rasanya beda dari sepatu sandal yang biasa kupakai
ya? Yang satu oke sih, tapi yang sebelahnya itu loh.. Ada yang beda!
“Aduh, kayaknya aku salah ambil
sepatu deh, Ber. Sebentar ya..” ujarku sedikit panik, sambil sedikit tertawa.
Berlian tertawa kecil. “Oh, ya
ampun. Iya, sok, sok..”
Aku berlari kecil ke arah
penyimpanan sepatu perempuan, di bagian depan pintu masuk masjid. Kucari sepatu
sandal yang mirip dengan yang kupakai, berharap di antara sepatu-sepatu itu,
ada yang tertukar dengan sepatu yang sedang kupakai. Agak sulit memang,
mengingat model dan warna sepatu sandal berbahan karet yang kupakai termasuk
yang sangat umum di pasaran.
Beberapa menit aku mencarinya, namun
tak jua ketemu. Hingga akhirnya kuperiksa sendiri sepatuku yang terasa berbeda
itu. Aku lihat bagian bawahnya, dan ternyata...
“Ya ampun, Ber!! Aku tahu kenapa!
Sebentar..” sahutku sambil berlari kecil kembali ke rak sepatu di depan
sekretariat ekstrakurikulerku. Berlian mengikutiku dari belakang.
Aku mencari-cari sepotong benda yang
raib itu. Ketemu! Di sini kau rupanya..
Ya, bantalan karet setengah oval berwarna cokelat itulah yang kucari. Rupanya
yang membuat sebelah sepatuku terasa berbeda saat diinjak adalah karena
bantalan karetnya terlepas! Jadi, wajar ketika kupakai, sepatu yang sebelah
terasa lebih rendah.
Melihat tingkahku mengambil bantalan
karet itu dan membungkusnya dengan kresek hitam kecil, Berlian tertawa. “Ya
ampuun, kok bisa..,” ujarnya sambil geleng-geleng tanpa berhenti tersenyum. Aku
pun ikut tertawa bersamanya.
Setelah si biang masalah ditemukan,
kami melanjutkan perjalanan pulang melewati sisi luar koridor masjid. Rupanya,
Berlian tetap tak bisa menghentikan tawanya hingga ujung koridor, di mana kami
harus berpisah. Aku pun penasaran, dan bertanya, “Kenapa, sih, Beer?”
“Hihihi, gak apa-apa. Cuma mau
bilang makasih banyak ya.. Tau gak, aku tuh hari ini gak pingin datang ke sekre
(sekretariat-red.), soalnya lagi sibuk banget di OSIS, terus pikirannya lagi
gak enak banget deh. Gak enak ketemu teman-teman yang lain, belum lagi
tugas-tugas yang ada juga belum selesai. Pokoknya malu mau ke sekre. Eh
ternyata malah ketemu Emas, dan akhirnya sekarang aku malah ketawa-ketawa
terus. Makasih banyak ya udah bisa bikin aku senang lagi hari ini, walaupun
dengan kejadian yang keciil banget..” ujarnya dengan wajah bahagia yang aku
tahu jelas itu sungguhan. Tak ada kebohongan yang tampak di wajahnya.
Lagi. Jawaban sejenis itu lagi.
Saat
itu, rasanya aku merasa sangat kecil.
***
Sahabat, inilah akhir kisahku kali
ini. Mungkin ketika kita merasa kecil, ketika kita merasa lemah, ketika kita
merasa diri ini sedang out of order,
tidak selamanya perasaan kita itu benar. Kau tahu, aku sebenarnya mengharapkan
jawaban sejenis ini dari Intan, Permata, dan Berlian:
“Iya,
Mas. Kamu tuh sekarang lagi kelihatan sedih, ya? Akhir-akhir ini kelihatan
lemas. Coba deh lakuin blablablabla.., biar kamu semangat lagi!”
Ya, jawaban sejenis itulah yang
kuharapkan. Aku berharap mereka merasakan seperti apa yang sedang kurasakan
lantas memberikan saran agar aku bisa lebih bersemangat. Namun jawaban yang
keluar dari mulut mereka justru berbalik 180 derajat. Aku jadi berpikir, apa
iya itu yang mereka lihat dari aku sekarang? Apa memang mereka tidak melihat
dan merasakan kelelahan dan kelesuan yang aku rasakan? Atau jangan-jangan itu
semua hanya perasaanku saja?? Apa selama ini aku hanya membesar-besarkannya
saja? Apa benar.. sekarang aku lebih ceria? Lebih bahagia? Bahkan aku bisa
membuat mereka tersenyum dengan hal kecil yang tak terduga??
Malam itu, selama perjalanan pulang,
aku merenung. Jika aku akhir-akhir ini merasa sedang dalam kesulitan,
kesedihan, kelelahan, mungkin benar, bahwa itu semua hanyalah ANGGAPAN-ku
semata. Itu hanya peperangan yang terjadi di dalam diriku sendiri. Peperangan
yang kubesar-besarkan, kuakui kesengitannya, hingga akhirnya anggapan itu
tumbuh dengan subur dalam pikiranku.
Ternyata, kata mereka berbeda loh. Kita
tak seburuk apa yang kita pikirkan. Maka, malam ini, izinkan aku berbagi pesan
dan hikmah yang aku dapatkan kepadamu dari kisah ini. Bukan, bukan. Aku bukan
bermaksud menggurui. Justru aku ingin berbagi, untuk mengingatkan diriku
sendiri.
Ya,
mungkin yang bisa kudapatkan adalah suatu pesan, bahwa jika dalam situasi
seperti kisahku ini kita tetap merasa buruk, jawabannya tidak lain adalah ada
yang salah dalam pikiran kita sendiri. Ada yang salah dalam diri kita. Dan yang
mungkin yang utama, ada yang sedikit retak dalam hubungan kita dengan Sang
Pencipta... Dan inilah sekarang tugas kita untuk langsung membenahinya,
membetulkan posisinya, dan bangkit dari keterpurukan itu. Dekati kembali Ia,
mohonkan petunjuk-Nya, minta Ia lebih erat lagi memeluk-Mu. Setelah itu, benahi
hubungan kita dengan diri sendiri. Benahi persepsi diri yang selama ini salah!
Hindari terlalu fokus pada kelemahan kita, sampai-sampai melupakan kelebihan
yang telah Ia berikan, yang bisa kita manfaatkan untuk orang lain.
Mari bangkit, benahi hubungan kita
dengan Sang Pencipta, hubungan kita dengan diri sendiri. Lupakan kesedihan itu,
ubahlah persepsi diri kita. Fokuslah pada kelebihanmu. Buang semua energi
negatifmu hari ini! Undang energi positif di sekitarmu. Dengan cara apa?
Yang aku tahu, tentu dengan perbanyak
bersyukur kepada-Nya dari setiap hal yang terjadi di sekeliling kita. Mulai
dari yang terkecil sampai yang terbesar. Dari yang ter-gaib sampai yang paling
nyata. Kalau kata Pak Ibrahim Elfiky, salah satu motivator dunia kesenanganku,
mulailah hari dengan berkata, “Selamat Pagi, Tuhan. Terimakasih atas berkah-Mu
pagi ini. Hari ini kupersembahkan untuk-Mu. J”.
Ffuuh,
sahabat, dua bulan belakangan ini mungkin merupakan dua bulan paling melelahkan
selama hidupku. Namun, dua bulan inilah yang akan menjadi batu loncatanku untuk
menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Menjadi pribadi Emas 24 karat yang banyak
dicari orang. Menjadi pribadi Emas yang semakin bermanfaat untuk orang banyak.
***
Sejujurnya, kisah ini diangkat dari kisah nyata, dengan perubahan latar dan sedikit tokoh :) hehe. Jika ada kesamaan nama dan tempat, sesungguhnya itu bukan kebetulan, pasti ada sinyal-sinyal-Nya yang harus kita terjemahkan ;) Selamat memetik hikmah dari setiap kejadian di sekitarmu.
Wallahu a'lam :)
Wassalaamu'alaykum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar