Assalaamu’alaikum! J
Kekawan sekalian, beberapa hari kemarin, saya baru selesai membaca buku karya M. Sonny
Sandhy yang berjudul Powerful Muhammad SAW (7 Sebab yang Jarang Diungkap dari Pengaruh Luar Biasa Seorang Muhammad
SAW).
Buku ini ini mengulas tentang 7 karakter Nabi
Besar Muhammad SAW yang membuat dakwah beliau begitu powerful sampai menjadi
orang berpengaruh nomor satu di dunia.
Keseluruhan isi buku ini dibagi menjadi 7 bab
sesuai masing-masing karakternya. Setiap bab diselingi oleh opini dari para
tokoh dunia barat yang mengagumi keluhuran sikap Nabi Muhammad SAW, sebut saja
Michael H. Hart, John William Draper, Mahatma Gandhi, David George Hogarth,
Washington Irving. Hal ini turut membuktikan bahwa keagungan karakter dan
kepribadian Nabi Muhammad SAW memang sudah diakui dunia, tak pandang bangsa dan
agamanya.
Nah, salah satu karakter tersebut adalah pendengar yang baik, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat.
Menurut penulis, banyak sekali orang (apalagi Indonesia) yang senang
berbicara, ingin didengar dan diperhatikan. Tapi sedikit sekali di antara kita
yang mau mendengar perkataan orang lain secara seksama dan penuh simpati, serta
tidak memotongnya. Padahal kita semua sudah tahu bahwa kita dianugerahi dua
telinga dan (hanya) satu mulut. Dimana itu mengindikasikan bahwa seharusnya
kita memang lebih banyak mendengar daripada berbicara. Karena sesungguhnya
banyak bicara itu bisa menjadi pintu gerbang kesalahan dan dosa. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud r.a., “...Tidak sesuatu pun di dunia ini yang
lebih berhak untuk ditahan dalam waktu yang lama daripada lidah.” Ucapan
(lidah) kita bila tidak ditahan sangat dapat menjadi pintu bagi kesalahan dan
dosa.
Dalam buku ini dicontohkan sikap Rasul sebagai pendengar yang baik
adalah ketika Utbah bin Rabi’ah diutus kaum Quraisy untuk bernegosiasi.
Rasulullah dengan sabar dan penuh perhatian terus mendengarkan perkataan Utbah
hingga ia benar-benar selesai. Bahkan sebelum Nabi memulai perkataannya, ia
menanyakan terlebih dahulu pada Utbah, “sudah selesaikah, wahai Abdul Walid?”
Ketika berbicara pun, Nabi hanya berbicara seperlunya. Beliau hanya menyebutkan
beberapa ayat Al-Qur’an dan meminta Utbah menentukan sikapnya. Di akhir cerita,
ketika Utbah menyampaikan apa yang baru terjadi kepada orang2 kafir Quraisy,
orang2 kafir tersebut malah berkata, “kau telah disihir oleh perkataannya.”
Sahabat-sahabat, ketika kita menjadi pendengar yang baik, bukan berarti
kita diam pasif atau tidak mempunyai sesuatu untuk disampaikan. Justru ketika
kita menjadi pendengar yang baik, kita sedang melakukan aktifitas 'diam aktif', dan saat itulah seorang pembicara yang hebat akan
lahir. Karena dengan kita mendengarkan lawan bicara dengan penuh perhatian,
kita bisa mengenali lebih dalam dan detail tentang bagaimana sebenarnya masalah
atau informasi yang ia sampaikan. Lebih jauh lagi kita pun bisa melihat
bagaimana kepribadian si lawan bicara. Alhasil, ketika tiba waktunya kita
merespon (berbicara), kita bisa sampaikan informasi yang lebih akurat.
Informasi pun kita sampaikan dengan metode dan cara yang tepat, yang
dapat diterima dengan mudah oleh si lawan bicara, karena kita sudah tahu
kepribadian/sifat lawan bicara kita seperti apa. Dengan menjadi pendengar yang
baiklah, kata-kata yang kita ucapkan bisa menjadi lebih powerful dan ngena,
tidak asal-asalan, seperti kata-kata Nabi Muhammad SAW yang sangat powerful.
Pendengar yang baik juga sudah pasti merupakan pembicara yang baik. Maka dari
itu, yuk kita sama-sama belajar dan bersabar untuk menjadi pendengar yang baik J.
Wallaahu a’lam bish-shawaab.
Wassalaamu’alaikum J
“Act
what you can act, Allah will do the rest”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar