Jumat, 18 Oktober 2013

Bukan karena aku BAIK, tapi karena aku ingin MENJADI BAIK

Bismillaah...

Hanya ingin menuliskan beberapa baris saja malam ini..

Bukan karena aku sudah baik, lantas aku menutup aurat..
Justru karena aku ingin menjadi baik lah, maka kututup auratku...

Bukan karena aku ahli dalam menahan nafsu, lantas aku menahan pandanganku...
Justru di saat itulah, aku sedang berjuang keras melawan hawa nafsuku...

dan..
Bukan karena aku sudah shalih, lalu aku berdakwah...
Justru, karena aku ingin shalih, maka kuputuskan untuk berdakwah...

Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Bersama Allah, kita bisa :)

Senin, 14 Oktober 2013

Kisah Emas, Intan, Permata dan Berlian

Assalaamu'alaykum, sahabat. Bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat lahir dan batin ya, Aamiin. :)

Sebelum saya mengulas empat perhiasan yang ada di judul ini (berasa mau jualan hehe), izinkan saya untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Adha" kepada sahabat-sahabat Muslim dan Muslimah di seluruh dunia :)
Semoga bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji, hajinya mabrur, yang belum, segera dimampukan (termasuk penulis), Aamiin. Dan tentunya semoga amal kurban kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin..

Sekarang, izinkan saya berbagi sebuah kisah. Hmm... kisah ini cukup panjang. Tapi mudah-mudahan bisa menjadi masukan positif bagi kita semua. Sip, let's check it out. Semoga bermanfaat!

 Kisah Emas, Intan, Permata dan Berlian

Oleh: Aliya Nur Zahira
           
Hai, namaku Emas. Ini sebuah kisah tentang diriku. Sebuah kisah sederhana tentang bagaimana persepsi membentuk diri kita. Kau mau kan menyimak kisahku ini?
            Dua bulan belakangan itu, aku merasa sedang tidak bersemangat. Hari-hari aku lalui dengan penuh kecemasan, kebingungan, kesedihan, dan semua terasa lebih melelahkan dari biasanya. Entah karena kesibukan aktifitasku yang semakin padat atau memang karena motivasiku sedang turun. Ya, kesibukan akademik sebagai siswa kelas dua yang baru masuk penjurusan, tentu berbeda dengan kondisi saat aku masih kelas satu dulu. Di mana rasanya sekolah adalah arena bermain kami. Belum lagi dengan posisi siswa kelas dua yang memegang kepengurusan inti baik di OSIS, ekstrakurikuler, ataupun kepanitiaan acara sekolah.
Aku pun khawatir sikapku belakangan ini malah berdampak buruk bagi sahabat-sahabat di sekitarku. Lantas suatu hari, aku memutuskan untuk bertanya pada salah seorang sahabatku, sebut saja namanya Intan. Ke mana ada Intan, biasanya di sana ada aku.
            “Tan, aku mau tanya. Tapi jujur, ya..” sergapku begitu Intan menyelesaikan suapan sarapan terakhirnya. Kantin sekolah pagi itu cukup ramai. Sepertinya, banyak siswa yang belum sempat sarapan di rumah seperti aku dan Intan.
            “Iya, tanya apa?” ujarnya sambil tersenyum tulus sambil menampakkan wajah keheranan karena seorang aku memang tidak biasa bertanya dengan gaya seperti itu, hehe.
            “Kamu ngerasa ada yang beda gak dari diri aku sekarang?”
            “Hmm, menurut aku, kamu tuh sekarang bedaaa. Aku lebih senang lihat kamu yang sekarang daripada yang dulu. Kamu yang sekarang lebih peduli. Kalau dulu tuh ya, aku pas pertama ketemu kamu, langsung kaget lah. Ini anak apa sih? Masak pinjam dua double tape aku dan dua-duanya di-ilangin?? Terus dulu kamu orangnya keliatan ngejar tugas banget. Gak terlalu peduli sama orang di sekitar kamu atau pun orang yang kerja bareng kamu. Yaa.. emang sih tipe kayak gitu bakal bagus kalau di dunia kerja, kerjaannya beres dan hasilnya bagus. Tapi tetap saja, aku lebih suka kamu yang sekarang..”
            Aku terhenyak mendengar jawabannya. Benakku terdiam. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya ‘Oh’ yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Sebenarnya aku sedikit ‘kecewa’ karena jawabannya di luar harapanku.
***
            Ini kali keduanya aku menanyakan hal yang sama pada sahabatku yang lain, sebut saja namanya Permata.
Siang itu, Permata yang ceria duduk sendiri di depan kantin. Sepertinya ia sedang menunggu seorang temannya. Tanpa pikir panjang, aku yang sedang luang langsung menawarkan diri untuk menemaninya. Obrolan akrab pun terjalin. Cerita-cerita Permata yang mengundang tawa, selalu berhasil menghipnotis perhatianku. Hampir saja aku dibuat lupa akan pertanyaan utamaku. Lantas, begitu tawanya reda, kulontarkan saja pertanyaan itu. Dan inilah jawabannya.
            “Aku tuh lebih seneng ngeliat kamu yang sekaraang.. Kamu tuh sekarang lebih kelihatan bahagia daripada waktu dulu, pas jaman kelas satu itu loh.. Ya ampuun, kalau ngeliat kamu tuh kayaknya kebanyakan murungnya, muka susah deh, hehe. Pokoknya kamu bagus kayak gini. Emas tetap kayak gini ya..!” jawabnya bersemangat dengan penuh senyuman.
            Lagi-lagi aku terhenyak dan kaget. Kembali aku mendapatkan jawaban di luar harapanku. Aku hanya bisa membalas senyuman cerianya dengan senyuman palsu.
***
            Kali ketiga aku menanyakan hal yang sama. Sore itu langit begitu cerah. Sahabatku kali ini boleh kalian sebut, Berlian. Sahabat yang sejak kelas satu dulu selalu berada dalam satu kepanitiaan denganku. Entah itu acara OSIS, ekstrakurikuler, ataupun acara tahunan sekolah. Aku tak tahu mengapa itu terjadi, tapi aku yakin itu bukan kebetulan. Maka, aku selalu yakin, ada sesuatu yang istimewa dari keberadaan Berlian di sampingku. Dan ketika aku menanyakannya, ia hanya menjawab singkat sambil tersenyum-senyum. “Ooh.. Hmm, Emas itu sekarang kayaknya lebih.. Ceriaaa! Seneng aja ngeliatnya. Hihihi..”
Aku menghela napas. Begitu ya, Ber..?
***
Sore itu hujan deras di Masjid Raya samping sekolah. Aku pun memutuskan untuk menunaikan sholat Maghrib dahulu sebelum pulang. Ketika itu aku bertemu kembali dengan Berlian.
            Sejak melihatnya, aku sudah memutuskan untuk mengobrol dengannya. Aku ingin membahas perihal pertanyaan yang aku ajukan tempo hari. Namun, ada satu kejadian konyol yang mengawali momen itu.
            Seusai sholat, seperti biasa kami kembali ke sekretariat ekstrakurikuler kerohanian kami, yang lokasinya tepat di samping Masjid. Kami hanya mengambil tas dan barang bawaan lainnya lalu langsung bergegas pulang. Namun langkahku terhenti di depan sekretariat begitu menyadari ada sesuatu yang berbeda di kakiku.
            “Sebentar, Ber.. Kayaknya ada yang beda..”
            “Apa?” tanyanya kebingungan.
            Aku pun menaruh curiga pada sepatu sandal yang aku pakai. Kok rasanya beda dari sepatu sandal yang biasa kupakai ya? Yang satu oke sih, tapi yang sebelahnya itu loh.. Ada yang beda!
            “Aduh, kayaknya aku salah ambil sepatu deh, Ber. Sebentar ya..” ujarku sedikit panik, sambil sedikit tertawa.
            Berlian tertawa kecil. “Oh, ya ampun. Iya, sok, sok..”
            Aku berlari kecil ke arah penyimpanan sepatu perempuan, di bagian depan pintu masuk masjid. Kucari sepatu sandal yang mirip dengan yang kupakai, berharap di antara sepatu-sepatu itu, ada yang tertukar dengan sepatu yang sedang kupakai. Agak sulit memang, mengingat model dan warna sepatu sandal berbahan karet yang kupakai termasuk yang sangat umum di pasaran.
            Beberapa menit aku mencarinya, namun tak jua ketemu. Hingga akhirnya kuperiksa sendiri sepatuku yang terasa berbeda itu. Aku lihat bagian bawahnya, dan ternyata...
            “Ya ampun, Ber!! Aku tahu kenapa! Sebentar..” sahutku sambil berlari kecil kembali ke rak sepatu di depan sekretariat ekstrakurikulerku. Berlian mengikutiku dari belakang.
            Aku mencari-cari sepotong benda yang raib itu. Ketemu! Di sini kau rupanya.. Ya, bantalan karet setengah oval berwarna cokelat itulah yang kucari. Rupanya yang membuat sebelah sepatuku terasa berbeda saat diinjak adalah karena bantalan karetnya terlepas! Jadi, wajar ketika kupakai, sepatu yang sebelah terasa lebih rendah.
            Melihat tingkahku mengambil bantalan karet itu dan membungkusnya dengan kresek hitam kecil, Berlian tertawa. “Ya ampuun, kok bisa..,” ujarnya sambil geleng-geleng tanpa berhenti tersenyum. Aku pun ikut tertawa bersamanya.
            Setelah si biang masalah ditemukan, kami melanjutkan perjalanan pulang melewati sisi luar koridor masjid. Rupanya, Berlian tetap tak bisa menghentikan tawanya hingga ujung koridor, di mana kami harus berpisah. Aku pun penasaran, dan bertanya, “Kenapa, sih, Beer?”
            “Hihihi, gak apa-apa. Cuma mau bilang makasih banyak ya.. Tau gak, aku tuh hari ini gak pingin datang ke sekre (sekretariat-red.), soalnya lagi sibuk banget di OSIS, terus pikirannya lagi gak enak banget deh. Gak enak ketemu teman-teman yang lain, belum lagi tugas-tugas yang ada juga belum selesai. Pokoknya malu mau ke sekre. Eh ternyata malah ketemu Emas, dan akhirnya sekarang aku malah ketawa-ketawa terus. Makasih banyak ya udah bisa bikin aku senang lagi hari ini, walaupun dengan kejadian yang keciil banget..” ujarnya dengan wajah bahagia yang aku tahu jelas itu sungguhan. Tak ada kebohongan yang tampak di wajahnya.
            Lagi. Jawaban sejenis itu lagi.
Saat itu, rasanya aku merasa sangat kecil.
***
            Sahabat, inilah akhir kisahku kali ini. Mungkin ketika kita merasa kecil, ketika kita merasa lemah, ketika kita merasa diri ini sedang out of order, tidak selamanya perasaan kita itu benar. Kau tahu, aku sebenarnya mengharapkan jawaban sejenis ini dari Intan, Permata, dan Berlian:
            “Iya, Mas. Kamu tuh sekarang lagi kelihatan sedih, ya? Akhir-akhir ini kelihatan lemas. Coba deh lakuin blablablabla.., biar kamu semangat lagi!”
            Ya, jawaban sejenis itulah yang kuharapkan. Aku berharap mereka merasakan seperti apa yang sedang kurasakan lantas memberikan saran agar aku bisa lebih bersemangat. Namun jawaban yang keluar dari mulut mereka justru berbalik 180 derajat. Aku jadi berpikir, apa iya itu yang mereka lihat dari aku sekarang? Apa memang mereka tidak melihat dan merasakan kelelahan dan kelesuan yang aku rasakan? Atau jangan-jangan itu semua hanya perasaanku saja?? Apa selama ini aku hanya membesar-besarkannya saja? Apa benar.. sekarang aku lebih ceria? Lebih bahagia? Bahkan aku bisa membuat mereka tersenyum dengan hal kecil yang tak terduga??
            Malam itu, selama perjalanan pulang, aku merenung. Jika aku akhir-akhir ini merasa sedang dalam kesulitan, kesedihan, kelelahan, mungkin benar, bahwa itu semua hanyalah ANGGAPAN-ku semata. Itu hanya peperangan yang terjadi di dalam diriku sendiri. Peperangan yang kubesar-besarkan, kuakui kesengitannya, hingga akhirnya anggapan itu tumbuh dengan subur dalam pikiranku.
            Ternyata, kata mereka berbeda loh. Kita tak seburuk apa yang kita pikirkan. Maka, malam ini, izinkan aku berbagi pesan dan hikmah yang aku dapatkan kepadamu dari kisah ini. Bukan, bukan. Aku bukan bermaksud menggurui. Justru aku ingin berbagi, untuk mengingatkan diriku sendiri.
              Ya, mungkin yang bisa kudapatkan adalah suatu pesan, bahwa jika dalam situasi seperti kisahku ini kita tetap merasa buruk, jawabannya tidak lain adalah ada yang salah dalam pikiran kita sendiri. Ada yang salah dalam diri kita. Dan yang mungkin yang utama, ada yang sedikit retak dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta... Dan inilah sekarang tugas kita untuk langsung membenahinya, membetulkan posisinya, dan bangkit dari keterpurukan itu. Dekati kembali Ia, mohonkan petunjuk-Nya, minta Ia lebih erat lagi memeluk-Mu. Setelah itu, benahi hubungan kita dengan diri sendiri. Benahi persepsi diri yang selama ini salah! Hindari terlalu fokus pada kelemahan kita, sampai-sampai melupakan kelebihan yang telah Ia berikan, yang bisa kita manfaatkan untuk orang lain.
          Mari bangkit, benahi hubungan kita dengan Sang Pencipta, hubungan kita dengan diri sendiri. Lupakan kesedihan itu, ubahlah persepsi diri kita. Fokuslah pada kelebihanmu. Buang semua energi negatifmu hari ini! Undang energi positif di sekitarmu. Dengan cara apa?
        Yang aku tahu, tentu dengan perbanyak bersyukur kepada-Nya dari setiap hal yang terjadi di sekeliling kita. Mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Dari yang ter-gaib sampai yang paling nyata. Kalau kata Pak Ibrahim Elfiky, salah satu motivator dunia kesenanganku, mulailah hari dengan berkata, “Selamat Pagi, Tuhan. Terimakasih atas berkah-Mu pagi ini. Hari ini kupersembahkan untuk-Mu. J”.
Ffuuh, sahabat, dua bulan belakangan ini mungkin merupakan dua bulan paling melelahkan selama hidupku. Namun, dua bulan inilah yang akan menjadi batu loncatanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Menjadi pribadi Emas 24 karat yang banyak dicari orang. Menjadi pribadi Emas yang semakin bermanfaat untuk orang banyak.

***
Sejujurnya, kisah ini diangkat dari kisah nyata, dengan perubahan latar dan sedikit tokoh :) hehe. Jika ada kesamaan nama dan tempat, sesungguhnya itu bukan kebetulan, pasti ada sinyal-sinyal-Nya yang harus kita terjemahkan ;) Selamat memetik hikmah dari setiap kejadian di sekitarmu.

Wallahu a'lam :)
Wassalaamu'alaykum.

Minggu, 13 Oktober 2013

Abstraknya Syukur

Apa kabar sahabat-sahabat?
Semoga selalu luar biasa, dengan tak lupa bersyukur atas segala nikmat yang masih Ia percayakan kepada kita :) Aamiin..

Sahabat, ketika mendengar kata "Abstrak", apa yang terlintas di benak sahabat-sahabat?
Ya, sesuatu yang tak dapat kita lihat, tak dapat kita deskripsikan wujudnya. Kembali mengacu ke KBBI online, katanya abstrak itu "tidak berwujud; tidak berbentuk". Contoh yang sering kita dengar dari benda abstrak adalah gravitasi. Kenapa gravitasi itu abstrak? Ya karena kita dapat merasakannya, namun tak dapat melihatnya! Tak juga dapat menyentuhnya..

Hehe, nah, tentu selain gravitasi banyak lagi contohnya hal abstrak yang ada di sekeliling kita. Seperti "rasa sakit".
Waktu kamu ditampar, 'plaaak!'.. Biasanya kita bilang, "Aw, sakit tahu!". Terus orang yang namparnya bakal bilang, "Mana sakitnya?? Tunjukkin dong!". Lah, ya mana bisa kita menunjukkan bentuk dari rasa sakit itu hehe. Yang ada, yang kita tunjuk adalah pipi kita. Yang jelas-jelas itu namanya pipi, bukan 'sakit' hehe.

Apa lagi coba benda abstrak itu? Pasti banyak ya, dan saya yakin, di kepala sahabat-sahabat juga sudah terbayang dan tersebutkan contoh benda-benda abstrak yang ada di sekitar kita.
Yup, salah satunya adalah yang sudah saya tuliskan dalam judul postingan ini, yaitu.... "SYUKUR".

kok syukur itu abstrak? Emang iya gitu?
Hm, mungkin lebih tepatnya, "syukur itu abstrak" adalah sebuah kiasan.
Secara langsung, syukur itu gak kelihatan!
Kita tidak bisa melihat seperti apa syukur itu. Tepatnya, saking abstraknya, seringkali kita yang sengaja tidak melihatnya, menutup-nutupi keberadaannya, tidak berusaha mewujudkannya, sampai jadinya abstrak beneran deh.

Sebelum lanjut, supaya lebih mantep, mari sama-sama kita simak, bayangkan, renungkan, dan rasakan setiap kata dalam kisah di bawah ini..

***
Ini tentang sekelumit kisah hidup seorang Ibu dosen di kampus A. Ibu ini terkenal tegas saat mengajar. Raut muka dan penampilannya pun sedikit terlihat 'garang' untuk ukuran seorang dosen perempuan. Sorot matanya tajam.
Cara mengajarnya bisa dibilang lumayan mudah dipahami. Selain menyampaikan materi kuliah, kadang juga, beliau suka menyindir kebijakan-kebijakan pemerintah dan kebijakan kampus A tempat beliau diajar dan mengajar. Sindirannya itu seringkali membuat mahasiswa-mahasiswa di kelasnya membulatkan mulutnya, "Ooooo, iya juga ya.. Kok baru kepikiran".. dan ekspresi-ekspresi lain yang sejenisnya.
Karena sikapnya yang demikian, mahasiswa banyak yang tak berani datang telat ataupun tidak serius mengikuti kelasnya. Biasanya kelas jadi sepi dan kondusif setiap beliau mengajar.
Kemudian, kabar itu datang. Berawal dari melihat deretan foto-foto lama (jadul) dosen-dosen di fakultas tersebut, ditemukanlah foto wajah yang mirip dengan Ibu dosen, lengkap dengan kerudung lebarnya.
Walhasil, penampakan itu mengagetkan tiap mahasiswa yang melihatnya. Apakah benar foto itu adalah sang Ibu dosen?
Nama di bawah foto itu akhirnya menjawab pertanyaan itu. Tidak salah lagi. Ya, tidak salah lagi, bahwa foto itu adalah sang Ibu Dosen yang rambutnya selalu dibiarkan terurai panjang itu.
Foto itu menunjukkan sosok sang Ibu Dosen saat baru lulus dari kuliahnya dulu. Seorang perempuan yang memakai kerudung kain lebar, layaknya aktifis-aktifis dakwah kampus. Tapi, sekarang? Kemana kerudungnya?
Selidik punya selidik, kabarnya, sang Ibu itu melepas kerudungnya saat mendapat kesempatan untuk menimba ilmu ke sebuah negara di belahan dunia barat sana.

Entah alasan apa yang membuat Ibu dosen kemudian melepas kerudungnya. Entah alasan peraturan pemerintah di sana, atau.. ah entahlah, mungkin mahasiswanya tidak ada yang tahu. Lantas bila hanya karena peraturan pemerintah di negara tersebut, mengapa setelah pulang dari sana, tak juga ia kenakan kembali kain segi empat itu?

***
Sahabat, terus terang, begitu saya mendengar kisah di atas, rasanya seperti ada petir yang menyambar di belakang kepala (agak #lebay, tapi beneran sih rasanya kayak gini hehe). Kaget, ya saya kaget sekali dan tiba-tiba rasa iba menyeruak kepada sang Ibu Dosen tersebut. Berjuta pertanyaan muncul di kepala saya.. "Ya ampun, kok bisa? Aduh, sayang banget yaa? Kenapa sih bisa dilepas? ....." dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Yang jelas saya dan teman-teman saya begitu dan sangat menyayangkan kejadian itu........ Innalillaahi...

:'(

Sampai saat ini, saya masih suka bertanya-tanya. Apa yang menyebabkan Ibu Dosen 'rela' melepas jilbabnya saat itu? Apa karena faktor eksternal atau bahkan internal?? Kini, bila saya berkesempatan melihat Ibu Dosen tersebut, pandangan saya yang tadinya agak sedikit segan (karena penampilannya yang sedikit garang tadi) menjadi iba.. Ah, Ibu, mengapa kerudung itu harus dilepas?..

Sepulangnya di rumah, saya kembali merenung. Ya Allah, betapa sesungguhnya kita tuh (especially kaum muslimah) harus bersyukur... Apalagi bagi yang Alhamdulillaah, sudah memutuskan untuk berkerudung. Bersyukurlah sahabat, karena di zaman kita ini, kita bebas untuk menggunakannya. Tak jua ada larangan menutup aurat dari negara, pemerintah atau institusi-institusi tertentu tempat kita bekerja atau menimba ilmu. Dan yang paling penting, bersyukurlah karena Allah masih menjaga hati kita, agar tetap setia mempertahankan kerudung ini :") Alhamdulillaah...

bersyukurlah, bersyukurlah...
mudah-mudahan kita termasuk kelompok manusia yang mau membuka pandangan mata dan hati kita terhadap "syukur" tersebut. sehingga syukur tak perlu lagi menjadi sebuah benda abstrak yang tak bisa kita wujudkan "wujud"-nya.

apa sih wujud syukur itu sebenarnya? :)

Syukur bisa diwujudkan salah empatnya, dalam empat hal; Hati, Lisan, Harta, Perbuatan.

Bersyukur dengan perbuatan? Ya, syukurilah kerudungmu dengan jaga terus kehormatan dirimu sebagai wanita, jaga akhlakmu sebagai seorang muslimah, jaga dengan terus bergerak dan berjuang membawa syi'ar Islam dengan kerudungmu :).

Yuk, wujudkan ke-abstrak-kan syukur yang suka sengaja kita abstrakkan (hehe), dengan.. BERSYUKUR :)

Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam.


Sabtu, 12 Oktober 2013

Sampaikan sesuai dengan bahasa mereka :)

Kemarin merupakan salah satu hari yang berkesan buat saya. Pasalnya, Alhamdulillaah, saya berkesempatan untuk pulang ke rumah, bertemu kembali dengan kedua orangtua saya :).

Ada yang berbeda dari perjalanan pulang kali ini. Kali ini saya pulang berdua dengan adik saya, dan kali ini kami tidak langsung pulang ke Serang, melainkan ke Tangerang. Rencana ini dibuat karena kami, bersama kedua orangtua kami, berniat menjenguk adik bungsu kami yang sedang mondok di salah satu ponpes di Tangerang. Akhirnya, berangkatlah kami berdua ke Tangerang.

Sesampainya di sana, kami memutuskan untuk mencari makan siang lebih dulu. Yap, tempat makan siang pun didapat. Selagi menunngu pesanana, Bapak saya pergi ke toko besi yang terletak di seberang tempat makan. Beliau pergi ke sana dengan maksud ingin membeli lem apoksi (maaf ya kalau tulisannya salah). Sepulang dari sana, beliau menceritakan apa yang dialaminya di sana. Beginilah ceritanya...
****

Tadi Bapak mau cari lem apoksi, terus bilang sama mas-nya.., "Mas, ada lem apoksi?".
Si mas-nya kebingungan dan langsung nanya ke engkoh-nya. Si engkohnya geleng-geleng. Mas-nya balik dan bilang ke bapak, "Gak ada, Pak"..
Padahal, waktu itu bapak lihat tuh di rak atas, ada lem apoksi.. Ya udah bapak bilang, "Oooh, gak ada ya mas? Hm, yaudah deh saya ambil lem yang itu aja (sambil nunjuk ke arah lem yang dimaksud)."
Si mas langsung ngambil, dan bilang, "Oooh, 'dexton'"..
Haha, Dexton itu nama merk lemnya, dan padahal jelas di bawah tulisan Dexton itu ada tulisan lem apoksi..
...
(Bapak saya diam sejenak, sambil tersenyum penuh arti).
Itu dia.. kenapa kita memang harus menyampaikan sesuatu sesuai dengan bahasa yang dimengerti sama lawan bicara kita. Karena.. kalau kita memaksakan dengan bahasa atau frame pikiran kita, bakal sulit diterimanya...

****
:)
Hikmah di atas bukan hanya berlaku dalam transaksi jual beli tentunya. Dalam setiap hal, termasuk mengajarkan seseorang atau menyampaikan suatu pesan kebaikan pada orang lain pun begitu. Akan lebih mudah menyampaikan pesan kebaikan tersebut bila kita menggunakan bahasa yang biasa mereka pakai.
Contoh praktisnya adalah, bila kita ingin menyampaikan materi farmasi atau penyuluhan kesehatan (misalkan)  yang punya banyak istilah asing kepada masyarakat awam, tentunya bukan istilah asing tersebut yang kita sampaikan. Seperti halnya istilah hipoksia.. Tak mungkin kita sampaikan, "Ya bapak,ibu, jadi kalau bapak ibu kurang makan makanan X, nanti darah bapak Ibu hipoksia looh.." Waah bisa jadi bapak ibu peserta penyuluhannya kebingungan, ngantuk, terus ngabur.. Tentu bahasanya bisa kita sesuaikan menjadi, "Ya bapak,ibu, jadi kalau bapak ibu kurang makan makanan X, nanti darah bapak Ibu kekurangan oksigen looh..". Begitu contohnya.. Tentu sahabat2 tahu sendiri istilah istilah asing di bidang sahabat masing-masing yang perlu disesuaikan dengan bahasa penerimanya.
Begitu pun dengan istilah Agama yang tidak semua orang paham.

Hehe, ternyata sahabat, dari kejadian kecil yang terjadi di kehidupan sekitar kita, ada banyaak sekali pembelajaran hidup yang bisa kita dapatkan, yang gak kita dapatkan di sekolah formal.

Sip, sip, semoga bermanfaat! Semoga kita bisa jadi penyampai pesan kebaikan yang cerdas dan adaptif dengan si penerima pesan kita :)
Wassalaamu'alaykum.

Salah Belajar, Batu Loncatan untuk Sang Pembelajar :)

"Ketika ujian tiba, saat kita sudah membekali otak kita dengan bahan ujian, tiba-tiba saat kertas dibuka, DUAAAR..!  Soal yang keluar sama sekali bukan bahan yang kita pelajari. Ffuuh, gimana ini??"

Sahabat, pernahkah mengalami kejadian seperti kisah singkat di atas? Hehe, ternyata ada loh. Sebut saja si X. Nah, si X ini baru saja mengalami itu minggu kemarin.
Hari itu, diadakan kuis salah satu mata kuliah di jurusan X. Entah memang X dan teman-teman yang salah tangkap informasi dari Ibu Dosen, atau memang Ibu Dosen yang sengaja ingin memberi 'surprise' pada mereka dengan memilihkan sendiri submateri apa yang akan diujikan.

Jadi, yang mereka tahu itu hari ini akan ada kuis. Ya, kuis, dengan maksud mempersiapkan kita untuk UTS yang akan diadakan dua minggu lagi. Lalu bahan kuisnya darimana saja? Tentunya, dari bahan-bahan kuliah sejak awal hingga pertemuan terakhir sebelum kuis, bukan? Itulah yang mereka-atau mungkin X saja...?- tangkap. Otomatis, mereka-kalau ini memang benar, mereka semua, bukan si X saja-belajar materi kuis dari bahan kuliah pertama sampai pertemuan terakhir. Wah, sudah pasti bahan yang mereka pelajari banyak sekali. Mulai dari teori/hafalan, hitungan, dan lain sebagainya.

Namun, begitu soal dibagikan, ternyata yang keluar hanya satu soal, dan itu berasal dari satu sub mata kuliah saja. Dan yang lebih parahnya, soal yang keluar cuma satu soal dan itu adalah soal hitungan!!, ada sih di akhirnya, satu soal teori yang ditambahkan dan masih berhubungan dengan soal hitungan yang diberikan.

Jdeeer! Semua kaget! Ini kan materi-materi akhir, dan materi-materi yang dibahas di awal bahkan sama sekali gak keluar. Teori-teori yang lain pun banyak yang gak keluar. Dan yang lebih parahnya, X belum sampai belajar hingga soal hitungan ini :'( Hiks. #nahlo #salahsendiri.
Yang pasti saat waktu pengerjaan kuis dimulai, X tidak langsung mengerjakannya, melainkan tertawa dalam hati sambil mengomentari, "Ya ampuun, aku gak tahu apa-apa tentang iniii-yang soal hitungan-. gimana mau ngerjainnyaa?". Kalau teori Alhamdulillaah, X cukup tahu dan sudah mempelajari, walaupun mungkin memang belum mendalami. Walhasil, X sempat diam dulu di awal, menggoyang-goyangkan pensil sambil menatap kertas soal dalam diam. Dalam hati, X beristighfar menyesali ketidaksiapan X di kuis kali ini....

Terus X ngerjain gak?
Ya tentu saja X mengerjakannya, semampunya. Hehe.

Terus, adakah hikmah  di balik semua kisah ini?
Tentu ada :). Let's check it out.
Inilah yang kemudian X coba renungkan, sebelum akhirnya X bisa mengerjakan soal kuis dengan hati yang lega.

"1. Ini memang salahku. Salahku tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, hingga ada materi (soal hitungan) tadi yang belum sempat aku pelajari. Padahal sebenarnya itu termasik materi penting dalam kuliah ini. Oke, ini salahku pokoknya. Harus diperbaiki. Mungkin ini teguran dari Allah.
2. Mungkin ada faktor X lain yang menyebabkan soal yang keluar dalam kuis adalah bukan soal yang sudah aku pelajari :) Istighfar."

Oke, mungkin itu masuk ke instropeksi. Lalu adakah hikmah lainnya?
Tentu, ada dongs.

"3. Jika memang kejadiannya seperti ini, yaitu aku salah mempelajari materi yang kurang tepat dengan soal ujian-selain memang kesalahan pribadi-akankah ini menjadi suatu hal yang sia2 belaka? sia2 dan gak guna? Ah, Tidak! Aku yakin, apa yang sudahku pelajari kemarin, walaupun ternyata tidak keluar di kuis ini, aku yakiiin, ilmu tersebut pasti akan berguna. Entah kapan. Entah saat momen apa. Yang pasti, satu yang insya Allah pasti adalah, di saat UTS minggu depan nanti, ilmu itu pasti terpakai. Hm, karena di UTS nanti soalnya insya Allah bakal mencakup materi yang lebih luas daripada kuis ini."

Naaah, dari situ X bersyukur, Alhamdulillaah, mungkin ini dapat menjadi salah satu persiapan untuk menghadapi UTS nanti. Ya, persiapan bahwa X sudah mempelajari materi-materi awal tersebut, yang nantinya bisa meringankan X ketika belajar kembali untuk menghadapi UTS yang sebenarnya. Jadi X tidak perlu belajar lebih berat sebelum UTS, karena sudah dicicil lebih dulu, hehe.

Setelah merenungkan hal-hal tersebut, X bersyukur dan menjadi lebih lega. Akhirnya, X pun bisa tersenyum kembali dan mulai mengerjakan kuis ini sebisa yang X bisa. Bukan berarti X menghiraukan kesalahannya dalam UTS ini. Tentu kesalahan tersebut menjadi instropeksi buat X ke depannya, tapi bukan berarti kesalahan tersebut lantas membuat X drop dan saking marahnya sama diri sendiri malah memutuskan untuk menangis dan tidak mengerjakan kuis tersebut. Lebih parahnya kalau sampai penyesalan itu malah menutup pikiran X untuk bersyukur atas pesan hikmah yang terkandung di balik kejadian ini :).

Apapun hasilnya, insya Allah, ada nilai pembelajaran yang sangat berharga buat X, dan kita semua yang membaca kisah ini. Yaitu instropeksi diri, agar lain kali apapun jenis ujian itu, kita harus mempersiapkan diri dengan baik, karena kita tak pernah tahu soal apa yang akan dikeluarkan oleh sang dosen dalam ujian2nya.
:)
Begitupun halnya dengan ujian kehidupan dari Sang Maha Penyayang, Sang Pencipta kita. Kita tak tahu kan, ujian apa yang akan Allah berikan pada kita dalam hidup ini? Oleh karena itu, sudah seharusnya kita terus menempa diri kita dan menyiapkan diri kita agar ketika ujian itu datang mehnyapa, kita kuat dan siap menghadapinya. Dengan bekal itu, mudaah-mudahan kita bisa LULUS dari ujian itu dan menjadi manusia yang kualitas imannya selalu meningkat, Aamiin.

Sip, mungkin segini dulu pesan hikmah yang ingin saya share ke sahabat-sahabat di kesempatan kali ini. Semoga kita semua bisa terus menjadi pribadi pembelajar yang tak kenal lelah untuk menemukan hikmah-hikmah yang tersebar di sekitar kita.

Percayalah, di setiap kejadian yang terjadi di sekeliling kita, pasti ada hikmahnya, pasti ada hikmahnya. Pasti ada maksud tertentu dari-Nya, untuk menjadikan kita makhluk yang lebih baik lagi. Insya Allah.

Yang benar dari Allah, yang salah dari saya. Wallahu a'lam.
Wassalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh :)

Selasa, 08 Oktober 2013

Bukan "Yakin" Biasa

Yakin??'
Apa sih yakin itu? Kalau kata KBBI online (kbbi.web.id) yakin itu "percaya (tahu, mengerti) sungguh-sungguh; (merasa) pasti (tentu, tidak salah lagi)". Percaya terhadap apa? Nah, dalam tulisan ini, saya akan coba sharing tentang yakin terhadap mimpi-mimpi kita.


Yakin. Ya, kita harus yakin bahwa mimpimu dapat tercapai, atas izin-Nya. Yakin bahwa Ia akan memudahkan kita dalam menggapai mimpi-mimpi kita. Kenapa harus yakin? Ya, karena ia Maha Memudahkan. Karena sesungguhnya Allah telah menitipkan potensi-potensi terbaik dalam diri kita untuk dimanfaatkan agar mimpi-mimpi tersebut dapat tercapai.

Kata orang ketika kita punya mimpi dan kita yakin, maka saat itulah sesungguhnya kita telah mendapatkannya, kita telah mewujudkannya. Apakah benar seperti itu?

Tentu tidak akan se-instan itu juga. Kita tulis mimpi kita, lalu kita yakini, kemudian kita diam saja. Lantas apakah mimpi itu akan tercapai, sahabat? Saya rasa tidak...

Tentu setelah kita yakini mimpi kita tersebut, terus berdoa tanpa henti, dan  yakin bahwa Allah akan memudahkan kita menggapainya, selanjutnya adalah tunjukkan USAHA MAKSIMAL kita sampai Allah benar2 menyatakan bahwa kita LAYAK menggapai mimpi itu. Ingat, di terjemahan KBBI tadi, ada pengertian "sungguh-sungguh", bukan? Jadi, jelas Yakin, bukan hanya sekedar percaya.

tunjukkan USAHA MAKSIMAL?
Ya, tunjukkanlah kepada-Nya usaha terbaikmu, usaha maksimalmu. Kalau kata master trainer MudaMulia, @kangrendy (Rendy Saputra): "caper sama Allah!!". Cari perhatian Allah, tunjukkan bahwa, "Ya Allah, lihat, ini aku udah usaha sampe sebegininya.. Udah melakukan X, Y, Z, konsisten 7 hari berturut-turut.. Ridhoi ya Allah, ridhoi aku untuk menggapai mimpiku.."...

Lantas bila mimpi itu tidak tercapai juga? Mungkin menurut-Nya, usaha kita masih kurang, atau kita belum memantaskan diri terhadap mimpi kita tersebut.

Sahabat, saya di sini bukan orang sempurna yang sudah benar2 selalu menunjukkan usaha terbaik saya di mata-Nya. Saya di sini hanyalah seorang manusia biasa yang ingin teru belajar, belajar dan berusaha memantaskan diri agar Allah ridho mewujudkan mimpi saya. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi saya dan bagi teman-teman semua.
#yukbergerak! Mari kita semangat dan tunjukkan usaha terbaik kita di mata-Nya! Tunjukkan bahwa kita punya usaha lebiih di banding kawan-kawan kita yang lain sehingga Allah pun menilai bahwa kita sudah pantas mendapatkannya. Lalu setelah mendapatkannya? Jangan lupa bersyukur, kawan :) Bersyukur dengan hati, ucapan, dan perbuatan. Bersyukur secara aktif, bukan pasif. Bersyukur dengan terus meningkatkan kapasitas diri kita dengan memanfaatkan potensi yang telah Ia berikan.

Semoga kita selalu termasuk orang-orang yang tak kenal lelah berjuang untuk menggapai ridho-Nya, lewat pencapaian mimpi2 kita!
Selamat berjuang memakmurkan bumi, sahabat ;) we have been given His trust to manage this world!

Wallahu a'lam.
Wassalaamu'alaykum.