Minggu, 13 Oktober 2013

Abstraknya Syukur

Apa kabar sahabat-sahabat?
Semoga selalu luar biasa, dengan tak lupa bersyukur atas segala nikmat yang masih Ia percayakan kepada kita :) Aamiin..

Sahabat, ketika mendengar kata "Abstrak", apa yang terlintas di benak sahabat-sahabat?
Ya, sesuatu yang tak dapat kita lihat, tak dapat kita deskripsikan wujudnya. Kembali mengacu ke KBBI online, katanya abstrak itu "tidak berwujud; tidak berbentuk". Contoh yang sering kita dengar dari benda abstrak adalah gravitasi. Kenapa gravitasi itu abstrak? Ya karena kita dapat merasakannya, namun tak dapat melihatnya! Tak juga dapat menyentuhnya..

Hehe, nah, tentu selain gravitasi banyak lagi contohnya hal abstrak yang ada di sekeliling kita. Seperti "rasa sakit".
Waktu kamu ditampar, 'plaaak!'.. Biasanya kita bilang, "Aw, sakit tahu!". Terus orang yang namparnya bakal bilang, "Mana sakitnya?? Tunjukkin dong!". Lah, ya mana bisa kita menunjukkan bentuk dari rasa sakit itu hehe. Yang ada, yang kita tunjuk adalah pipi kita. Yang jelas-jelas itu namanya pipi, bukan 'sakit' hehe.

Apa lagi coba benda abstrak itu? Pasti banyak ya, dan saya yakin, di kepala sahabat-sahabat juga sudah terbayang dan tersebutkan contoh benda-benda abstrak yang ada di sekitar kita.
Yup, salah satunya adalah yang sudah saya tuliskan dalam judul postingan ini, yaitu.... "SYUKUR".

kok syukur itu abstrak? Emang iya gitu?
Hm, mungkin lebih tepatnya, "syukur itu abstrak" adalah sebuah kiasan.
Secara langsung, syukur itu gak kelihatan!
Kita tidak bisa melihat seperti apa syukur itu. Tepatnya, saking abstraknya, seringkali kita yang sengaja tidak melihatnya, menutup-nutupi keberadaannya, tidak berusaha mewujudkannya, sampai jadinya abstrak beneran deh.

Sebelum lanjut, supaya lebih mantep, mari sama-sama kita simak, bayangkan, renungkan, dan rasakan setiap kata dalam kisah di bawah ini..

***
Ini tentang sekelumit kisah hidup seorang Ibu dosen di kampus A. Ibu ini terkenal tegas saat mengajar. Raut muka dan penampilannya pun sedikit terlihat 'garang' untuk ukuran seorang dosen perempuan. Sorot matanya tajam.
Cara mengajarnya bisa dibilang lumayan mudah dipahami. Selain menyampaikan materi kuliah, kadang juga, beliau suka menyindir kebijakan-kebijakan pemerintah dan kebijakan kampus A tempat beliau diajar dan mengajar. Sindirannya itu seringkali membuat mahasiswa-mahasiswa di kelasnya membulatkan mulutnya, "Ooooo, iya juga ya.. Kok baru kepikiran".. dan ekspresi-ekspresi lain yang sejenisnya.
Karena sikapnya yang demikian, mahasiswa banyak yang tak berani datang telat ataupun tidak serius mengikuti kelasnya. Biasanya kelas jadi sepi dan kondusif setiap beliau mengajar.
Kemudian, kabar itu datang. Berawal dari melihat deretan foto-foto lama (jadul) dosen-dosen di fakultas tersebut, ditemukanlah foto wajah yang mirip dengan Ibu dosen, lengkap dengan kerudung lebarnya.
Walhasil, penampakan itu mengagetkan tiap mahasiswa yang melihatnya. Apakah benar foto itu adalah sang Ibu dosen?
Nama di bawah foto itu akhirnya menjawab pertanyaan itu. Tidak salah lagi. Ya, tidak salah lagi, bahwa foto itu adalah sang Ibu Dosen yang rambutnya selalu dibiarkan terurai panjang itu.
Foto itu menunjukkan sosok sang Ibu Dosen saat baru lulus dari kuliahnya dulu. Seorang perempuan yang memakai kerudung kain lebar, layaknya aktifis-aktifis dakwah kampus. Tapi, sekarang? Kemana kerudungnya?
Selidik punya selidik, kabarnya, sang Ibu itu melepas kerudungnya saat mendapat kesempatan untuk menimba ilmu ke sebuah negara di belahan dunia barat sana.

Entah alasan apa yang membuat Ibu dosen kemudian melepas kerudungnya. Entah alasan peraturan pemerintah di sana, atau.. ah entahlah, mungkin mahasiswanya tidak ada yang tahu. Lantas bila hanya karena peraturan pemerintah di negara tersebut, mengapa setelah pulang dari sana, tak juga ia kenakan kembali kain segi empat itu?

***
Sahabat, terus terang, begitu saya mendengar kisah di atas, rasanya seperti ada petir yang menyambar di belakang kepala (agak #lebay, tapi beneran sih rasanya kayak gini hehe). Kaget, ya saya kaget sekali dan tiba-tiba rasa iba menyeruak kepada sang Ibu Dosen tersebut. Berjuta pertanyaan muncul di kepala saya.. "Ya ampun, kok bisa? Aduh, sayang banget yaa? Kenapa sih bisa dilepas? ....." dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Yang jelas saya dan teman-teman saya begitu dan sangat menyayangkan kejadian itu........ Innalillaahi...

:'(

Sampai saat ini, saya masih suka bertanya-tanya. Apa yang menyebabkan Ibu Dosen 'rela' melepas jilbabnya saat itu? Apa karena faktor eksternal atau bahkan internal?? Kini, bila saya berkesempatan melihat Ibu Dosen tersebut, pandangan saya yang tadinya agak sedikit segan (karena penampilannya yang sedikit garang tadi) menjadi iba.. Ah, Ibu, mengapa kerudung itu harus dilepas?..

Sepulangnya di rumah, saya kembali merenung. Ya Allah, betapa sesungguhnya kita tuh (especially kaum muslimah) harus bersyukur... Apalagi bagi yang Alhamdulillaah, sudah memutuskan untuk berkerudung. Bersyukurlah sahabat, karena di zaman kita ini, kita bebas untuk menggunakannya. Tak jua ada larangan menutup aurat dari negara, pemerintah atau institusi-institusi tertentu tempat kita bekerja atau menimba ilmu. Dan yang paling penting, bersyukurlah karena Allah masih menjaga hati kita, agar tetap setia mempertahankan kerudung ini :") Alhamdulillaah...

bersyukurlah, bersyukurlah...
mudah-mudahan kita termasuk kelompok manusia yang mau membuka pandangan mata dan hati kita terhadap "syukur" tersebut. sehingga syukur tak perlu lagi menjadi sebuah benda abstrak yang tak bisa kita wujudkan "wujud"-nya.

apa sih wujud syukur itu sebenarnya? :)

Syukur bisa diwujudkan salah empatnya, dalam empat hal; Hati, Lisan, Harta, Perbuatan.

Bersyukur dengan perbuatan? Ya, syukurilah kerudungmu dengan jaga terus kehormatan dirimu sebagai wanita, jaga akhlakmu sebagai seorang muslimah, jaga dengan terus bergerak dan berjuang membawa syi'ar Islam dengan kerudungmu :).

Yuk, wujudkan ke-abstrak-kan syukur yang suka sengaja kita abstrakkan (hehe), dengan.. BERSYUKUR :)

Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar